Mohon tunggu...
L. Wahyu Putra Utama
L. Wahyu Putra Utama Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi

Literasi dan Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Makna Semiologis di Balik Pertemuan Prabowo-Jokowi

14 Juli 2019   12:01 Diperbarui: 14 Juli 2019   12:09 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://nasional.kompas.com

Pertemuan Prabowo-Jokowi merupakan  kabar gembira bagi iklim politik dan demokrasi  Indonesia. Momentum tersebut sekaligus mengobati rasa dahaga akibat panas terik Pilpres 2019 yang berjalan alot. Konten-konten media sosial yang dijadikan alat menebar provokatif kembali akan  stabil, tidak ada lagi kubu Prabowo, pun sebaliknya.

Saya melihat, setelah pertemuan tersebut, iklim nalar dan percakapan publik akan terbagi dalam dua kutub, pertama, mereka yang mengawal kebijakan pemerintah, melakukan koreksi dan upaya kritis terhadap segala kebijakan. Kedua, mereka yang selalu memberi apresiasi penuh atas semua kinerja pemerintah. Dua iklim nalar publik ini adalah siklus keseimbangan politik dan iklim demokrasi yang makin baik. Fungsi kritis dan struktural adalah dua hal yang menjamin berlangsungnya demokrasi, fungsi nalar kritis penting sebagai langkah agar demokrasi tidak kehilangan arah, dan fungsi struktural dibutuhkan agar kita tidak bertindak arogan dan semena-mena dalam menyalahkan atau menyikapi kebijakan pemerintah.

Namun, dibalik pertemuan tersebut menyiratkan makna simbolis, sekaligus menjadi pertanyaan dasar yaitu apa arti pertemuann itu? apakah artinya Gerindra, partai besutan Prabowo nantinya akan  merapat ke pemerintah?

Interpretasi pertemuan tersebut bisa multi-tafsir,  ada muatan-muatan kepentingan politik tertentu yang belum dapat di pahami publik. Makna rekonsiliasi yang ditangkap publik secera sederhana memiliki arti hubungan antara Prabowo-Jokowi kembali membaik dan ini pertanda positif bagi daya rekat demokrasi kita. Hal tersebut mengajarkan kita  sebuah etika bernegara, melampaui batas-batas kepentingan dan akan terukir dalam memori manis masyarakat.

Namun, apabila diartikan subjektif, pada masing-masing tokoh ini tersirat makna lain. Jelas, bagi diri Jokowi pertemuan ini akan makin memperkuat citra publik atas dirinya sebagai pemimpin yang patut diikuti. Ini bahkan sudah terlihat pasca putusan MK, di beberapa kesempatan, Jokowi menegaskan siap, dimanapun dan kapanpun untuk bertemu dengan lawan tandingnya. Selain itu, tentu langkah ini merupakan pilihan paling rasional untuk memperbaiki citra pesta demokrasi Tanah Air kali ini. Tak dapat dimungkiri, jika banyak kalangan yang masih merasa tersubordinasi dan tersisih terutama dari kelompok agama tertentu. Sehingga, jalur yang ditempuh Jokowi sebagai salah satu upaya untuk merangkul serta menghilangkan batas-batas pandangan negatif kelompok itu terhadap dirinya.

Sama halnya dengan Prabowo, pertemuan tersebut merupakan refleksi dari sikap seorang patriotis. Betapa tidak, setelah kalah dalam arena tanding, dia dengan senang hati merangkul lawannya. Baginya, kontestasi hanyalah sebuah proses dialogis dalam demokrasi, kalah menang itu adalah konsekuensi bagi petarung sejati. Namun apakah artinya, bertemunya Prabowo-Jokowi sekaligus sebagai sinyalemen merapatnya partai Gerindra ke pemerintah?

Saya melihat jalan pikiran dan politik Prabowo itu dinamis. Tercermin dalam Pilkada Jakarta misalnya, Anis Baswedan, sebelumnya getol melontar celoteh-celoteh bernada kritikan kepada Prabowo soal gaya otoriter dan belenggu sejarah masa lalu, justru  diusung atas pertimbangan Prabowo. Yang ingin saya garis bawahi, jika ingin belajar soal sikap negarawan, konsistensi, makna sebuah idealisme dan  politik yang  belajarlah dari jalan berpikir Prabowo Subianto. Sehingga apabila rekonsiliasi diartikan partai Gerindra merapat ke pemerintah jelas ini tidak mungkin.

Sebaliknya, Prabowo subianto tetap memilih jadi oposisi, melaksanakan peran tugas partai sebagai Chack and Balences, kekuatan penyeimbang di Parlemen. Jelas, kondisi ini dipahami betul, sebab apabila Gerindra merapat ke pemerintah, lantas nantinya akan seperti apa iklim dalam Parlemen, tidak proporsional. Gerindra sekali lagi lebih baik menjadi poros oposisi, koalisi pemerintah sudah terlanjut gemuk.

Pertanyaan lainnya, apakah rekonsiliasi artinya kesepakatan politis? Apakah dalam hal ini ada transaksi, kalkulasi atau apakah pertemuan Prabowo-Jokowi adalah sinyal kuat kembalinya HRS?

Nasib Rizieq Syihab (HRS) memang masih belum jelas, kapan dirnya kembali ke Indonesia. Pun apabila dia kembali, bagaimana proses hukum dan pembuktian, masih misteri. Diakui, HRS adalah tokoh penting, Big Man gerakan politk dan keagamaan di Indonesia. Moeldoko sebelumnya, menyebut jika salah satu tuntutan rekonsiliasi adalah dengan pemulangan HRS ke Indonesia. Saya melihat jika rekonsiliasi tersebut termasuk membicarakan peluang kepulangan HRS. Bukan tidak mungkin, pasca pertemuan Prabowo-Jokowi sekaligus menjadi sinyal positif dari kepulangan orator itu. Apakah kepulangannya penting atau tidak, itu soal pribadi masing-masing. Ingat, citra publik selama ini seringkali tertutup oleh narasi media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun