Mohon tunggu...
Wahyu Kuncoro
Wahyu Kuncoro Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca di saat ada waktu, penulis di saat punya waktu.

Seorang suami dan ayah 1 anak, tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mari Kembali ke Anak

24 Februari 2020   19:20 Diperbarui: 24 Februari 2020   19:27 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id

Gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mas Nadiem, patut diapresiasi. Selebihnya, perlu diwaspadai. Mengapa? Sebagai sebuah gagasan yang cukup inovatif yang memayungi arah pendidikan nasional ke depan, apa yang disampaikan Mas Menteri belum tentu dimengerti dengan seksama dalam implementasinya di daerah dan sekolah. 

Sekolah masih sibuk melakukan hal-hal yang berorientasi pada administrasi dan standardisasi saja. Kebijakan-kebijakan pendidikan di tingkat daerah dan implementasinya di sekolah masih sering mengabaikan anak.

Dalam wawancara dengan harian Kompas (6/11/2019), Mas Nadiem menyebutkan perlunya redefinisi pendidikan. Beliau menggarisbawahi pentingnya profesionalisme guru. 

Menurut beliau, selama 20 tahun terakhir, pendidikan kita belum banyak berubah. Melalui Merdeka Belajar, kita bisa berharap lagi bahwa pendidikan berorientasi kepada anak sesuai perubahan jaman. 

Selama 20 tahun ini, justru kita membangun sebuah politik persekolahan/pendidikan yang administratif. Kerja administratif guru terkait kurikulum hanya bagian kecil dari politik itu.

Beban Administrasi
Beban kerja administratif dan kurikulum yang dihadapi guru membuat guru kurang inovatif. Permasalahan ini perlu mendapat perhatian agar guru semakin mampu melakukan kinerja yang lebih baik. Kita tahu, urusan administrasi ini memang menjadi 'pengganggu' kerja sekolah, namun belum nampak usaha untuk mengatasinya. 

Di sisi lain, justru dipelihara. Kita terlanjur menjadi rezim administrasi, yang apa-apa diadministrasikan tanpa melihat fungsi dan tujuannya secara benar. Dalam dunia persekolahan atau pendidikan, energi kita habis untuk urusan administrasi karena arah kebijakan pendidikan yang berorientasi pada standardisasi.

Satuan pendidikan dipimpin kepala sekolah. Ada cara kerja administrasi kepala sekolah seperti membuat program kerja tahuhan, semester, dan turunannya. Satuan pendidikan diawasi pengawas yang kinerjanya harus dibuktikan secara adminstratif. Kinerja sekolah akan terhubung dengan bagian kurikulum, ketenagakerjaan, sarana dan prasarana. Semua menuntut kerja adminsitratif. Ada lagi penjaminan mutu sekolah melalui LPMP provinsi. Semuanya berhubungan dengan administrasi sekolah.

Apa hasilnya? Sekolah akan memiliki berjilid-jilid dokumen untuk melengkapi administrasi. Lainnya, papan atau bagan yang dipajang di sekolah, misalnya  mengenai jumlah guru, jumlah murid, dan program kerja kepala sekolah. Ruang-ruang di sekolah ramai dengan berbagai dokumen dan bagan yang menunjukkan tata kelola sekolah. Sekolah nampak bekerja dengan profesional. Padahal, semuanya bersifat simbolik. 

Misalnya, sekalipun terpampang struktur komite sekolah, belum tentu komite bekerja untuk sekolah. Yang terjadi komite dibentuk dan hanya saat pembagian rapot diundang ke sekolah. Bagan aturan perpustakaan dibuat, tetapi sejatinya perpustakaan tidak berfungsi. Alih-alih anak-anak datang meminjam buku, buku yang menarik untuk dibaca saja tidak ada.

Dalam rezim administrasi ini, kita lupa akan anak-anak kita. Mereka seharusnya memperoleh porsi utama dalam semua kebijakannya. Buku pelajaran diterima tepat waktu melalui pembelanjaan dana BOS yang tepat waktu sehingga bisa belajar dengan baik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun