Mohon tunggu...
Wahyu Dewanto
Wahyu Dewanto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Anggota komunitas angkringan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Komplek Perumahan yang Selalu Senyap Ketika Lebaran

28 Agustus 2011   04:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:25 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebaran tinggal hitungan hari lagi. Seperti tahun-tahun yang lalu, lebaran selalu ditandai dengan kejadian-kejadian yang hampir sama. Mungkin juga berlaku untuk tempat-tempat lain di luar komplek perumahaanku. Jamaah tarawih telah mengalami ke”maju”an. Maksudnya, jika awal-awal Ramadhan, jamaah tarawih mencapai belakang bahkan jalan, kini shaf terakhir maju pada baris ke empat atau ke tiga. Sangkaan burukku mengatakan, mereka yang tadinya memenuhi shaf-shaf di mushola atau masjid di awal Ramadhan berpindah ke pertokoan dan mal di akhir Ramadhan. Di sana mereka memenuhi dan meramaikannya hingga larut malam. Karena midnight sale sedang digelar. Hari raya menjadi alasan mereka untuk melakukannya.

Karena hari raya juga, beberapa tetangga sudah mulai meninggalkan rumah mereka masing-masing dan menitipkannya kepada tetangga kiri-kanan meski mereka tahu bahwa tetangganya itu juga akan mudik lebaran. Saya jadi meragukan sangkaan burukku tadi, karena bisa jadi mereka yang memenuhi mushola atau masjid di awal Ramadhan bukan meramaikan pertokoan dan mal di akhir Ramadhan, namun berganti memenuhi mushola atau masjid di kampung halaman tempat para jamaah itu mudik lebaran. Semoga saja begitu.

Mudik lebaran menjadi ritual tahunan bagi penghuni di perumahaan dimana saya tinggal. Kebanyakan—bahkan semuanya—penghuninya sudah tentu pendatang. Sudah tentu juga tidak memiliki akar. Akar kami jauh di daerah lain, dimana leluhur kami berada. Sehingga mudik menjadi sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Akibatnya menjelang lebaran komplek perumahaan akan terlihat sepi. Dan bila malam datang, maka suasana senyap akan melingkupi komplek perumahan yang terbagi menjadi 5 rukun tetangga (RT) ini.

Seperti tahun-tahun yang lalu, suasana akan tambah sahdu manakala terdengar gema kemenangan. Takbir dari mushola dan masjid di sekitar komplek perumahaan kami seperti sahut menyahut. Sementara gema takbir tak terdengar dari mushola di komplek perumahaan kami. Nampaknya jamaah yang belum memutuskan mudik, memilih untuk merayakan kemenangan di dalam rumah.
Kesenyapan mulai terasa dua hari menjelang Idul Fitri. Perbincangan lirih diselingi suara televisi yang tadinya muncul dari dalam rumah-rumah tertutup berubah sepi. Lampu-lampu di dalam rumah padam namun lampu teras dan jalan sengaja dinyalakan. Tak ada mobil yang terlihat di carport. Pedagang nasi goreng yang biasa keliling juga sudah tak terlihat. Jauh hari sebelumnya pedagang itu sudah mengabarkan kepada pelanggannya kalau dia tidak jualan pada lebaran. Ini dilakukakan agar pelanggan setianya maklum bahwa dirinya juga akan mudik. Hanya satpam perumahaan yang masih menampakan aktifitasnya. Sesekali terlihat sedang berkeliling mengontrol keadaan. Secara resmi satpam-satpam ini tidak memperoleh honor tambahan untuk tetap menjalankan tugasnya di hari raya. Tapi mereka mendapatkan bingkisan THR secara pribadi dari penghuni komplek.

Mudik lebaran sepertinya menjadi ciri khas yang hanya dimiliki Indonesia. Gambaran umum para urban akibat pembangunan dan sumber-sumber ekonomi yang tidak merata. Meski demikian ketidakmerataan itu tidak membuat rakyat menjadi masygul. Mudik bagi kaum urban adalah penyikapan hidup. Meski apa yang dinamakan mudik membutuhkan penyikapan lagi. Bersedia—untuk mengganti kata terpaksa—antri mendapatkan tiket kereta api, berhubungan dengan calo tiket bis bahkan ketika pergi pun harus berdesak-desakan di gerbong kereta api. Berdiri berjam-jam di toilet kereta api pun akan dilakukan apabila itu akan membawa mereka ke kampung halamannya.

Pemudik lain akan mengendarai motor kreditan yang belum selesai diangsur bersama istri dan anak juga barang bawaan mereka. Mereka inilah yang sering terlihat di jalur pantura Jawa, pelabuhan Merak (Banten, Jawa Barat) - Bakaheuni (Lampung) dan Gilimanuk (Jembrana,Bali) - Ketapang (Banyuwangi, Jawa Timur).

Ada juga pemudik yang kadar kepayahannya tidak seperti tertulis di atas. Mereka memilih jasa travel yang akan mengantar mereka hingga di depan rumah orang tua mereka di kampung halaman. Di luar itu, beberapa pemudik sengaja memilih pesawat terbang untuk menyingkat waktu. Meski demikian, tentu saja ada pemudik yang mengendarai mobil pribadinya.

Apapun moda transportasi yang digunakan pemudik tidak lepas dari perjuangan untuk kembali ke kampung halaman. Tempat lahir dan masa kecil yang memunculkan kenangan indah. Tempat langgar atau mushola ketika para pemudik dulu mengaji al Quran. Tempat orang tua mereka mengisi hari-harinya. Juga tempat leluhur mereka dikuburkan.

Kerinduan terhadap kampung halaman dan handai tolanlah yang membuat penghuni perumahaan kami memutuskan untuk mudik. Meski itu membuat sebuah lingkungan menjadi senyap. Seperti kesenyapan komplek perumahaan kami yang sering terjadi setiap lebaran datang.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun