Mohon tunggu...
Wahyu Bramastyo
Wahyu Bramastyo Mohon Tunggu... -

menjalani hari-hari dengan pekerjaan rutin sebagai konselor, dan guru. mengisi waktu senggang dengan membaca, nulis, maen game, jalan-jalan, nonton TV, dan bobok. suka banget sama mendung, kopi, novel, dan nonton Travel & Living ato Oprah Winfrey Show sangat berharap sesering mungkin terjebak dalam rumah ketika hari hujan bersama sofa besar, selimut flanel, kopi dan novel yang bagus. pengen banget dalam hidup jadi orang kaya, yg nyantai, produktif nulis, membaca banyak buku, menjelajahi banyak tempat menarik, bisa terus mengajar, menghidupkan pendidikan, dan menjalankan aktivitas konseling, punya yg nyaman rumah di gunung yg udaranya sejuk, punya jendela besar buat ngeliat air pas turun hujan sambil ngopi, peprustakaan pribadi yang nyaman untuk duduk2 baca buku atau mendiskusikan buku dengan teman-teman, wkakakak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika 'Sibling' Menjadi Emotional Abuser Pertama

13 Juni 2010   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:34 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Suatu hari, setelah jauh lewat dari jam makan malam, saya bersama seorang teman memutuskan masuk ke salah satu gerai franchise burger di salah satu tempat nongkrong di bilangan Jakarta Selatan (cat. Tempat ini kami pilih karena merupakan satu-satunya tempat yang memungkinkan pembelinya duduk lama & ngobrol tanpa perlu dipelototi mbak-mbak penjualnya). Setelah memesan extra long chicken hotdog, kentang goreng dan segelas blueberry softdrink, plus segelas besar cappucino ice yang kami beli sebelumnya & belum habis dari tadi, kami tenggelam dalam buku bacaan masing-masing. Bersebelahan tapi tidak bicara satu sama lain. Nampaknya ini salah satu resiko yang perlu dipertimbangkan kalau mengajak saya hangout (kami sering pergi bareng, karena kami sama-sama suka nyuekin satu sama lain dan tenggelam dalam bacaan masing-masing). Buku yang saya baca waktu itu kebetulan sangat feminim The Emotionally Abused Woman—Overcoming Destructive Patterns & Reclaiming Yourself, buku pinjaman dari Teh Rika yang bersampul pink pula (makasi ya Teh). Teman saya yang sedang membaca novel pinjaman dari sekolah menanyakan itu tentang apa . (Tiiiittttt, mangsa tertangkap) salah satu tips buat para cowo untuk terlibat pembicaran seru dengan cewe yang kalian ajak jalan adalah : bawa buku tentang cewe dan pasang posisi agar mereka bisa melirik judul di sampulnya ^_^ Meskipun yang saya ajak jalan adalah sahabat saya sendiri, tetap saja trik semacam ini menghidupkan diskusi yang seru. Kami mulai membahas mengenai emotionally abuse yang bisa dialami oleh siapapun baik laki-laki maupun perempuan dalam hidup mereka. Teman saya menanyakan mengapa laki-laki jarang yang menjadi korban emotional abuse. Sebenarnya menurut saya tidak sedikit juga laki-laki yang menjadi korban emotional abuse, hanya saja ketika dewasa mereka biasanya turn to be emitonal abuser atau pelaku emotional abuse itu sendiri kepada orang lain sehingga seolah tidak terlihat sebagai korban emotional abuse. Budaya kita seringkali menuntut laki-laki tampil lebih kuat, itu sebabnya mereka cederung memilih terlihat sebagai agresor dibandingkan terlihat lemah dengan mengakui diri sebagai korban. Sedangkan bagi perempuan yang menjadi korban emotional abuse di waktu kecil seringkali menjadi sosok codependent di kala dewasanya. Emotional abuse dapat meninggalkan bekas luka tak teraba yang justru lebih tahan lama dampaknya dibandingkan physically abuse. Dampak yang terjadi adalah runtuhnya self esteem seseorang sehingga menimbulkan perasaan inadequate, merasa diri tidak layak yang dapat berkembang menjadi pikiran negatif terhadap diri, depresi, keputus asaan, perasaan tidak berdaya, tidak berharga, dan seolah kehilangan harapan. Bisa kita tebak jika seseorang kehilangan harapan atas dirinya sendiri itu mirip seperti para tokoh dalam kisah Harry Poter yang mendapat deathly kiss dari para Dementor. Masuk akal kan kalau dalam kisah Harry, penjara Azkaban yang merupakan tempat tahanan bagi penjahat-penjahat sihir kelas berat dijaga oleh para Dementor. Karena efek dari hilangnya harapan, dan rasa optimis terhadap diri ini bisa sangat menghancurkan. Sebuah hukuman yang terkadang jauh lebih berat daripada hukuman fisik. Emotional abuse biasanya terjadi melalui jalur komunikasi yang negatif dari seseorang yang cukup dominan dalam hidup kita kepada diri kita secara berulang-ulang dan terus menerus. Kata-kata dari significant others dapat sangat dalam maknanya bagi kita, baik itu yang positif maupun yang negatif. Bagi anak-anak, sibling merupakan salah satu significant other yang besar perananya dalam hidup kita setelah orangtua. Pada beberapa tipe hubungan saudara, terutama dua bersaudara yang kesemuanya laki-laki atau semuanya perempuan dengan jarak kelahiran yang tidak jauh berbeda biasanya sibling memegang peran dominan selama beberapa tahun masa perkembangan dari usia anak hingga remaja. Setelah melewati masa remaja, biasanya pembentukan identitas diri sudah lebih kuat sehingga peran sibling mulai digantikan oleh peer group. Jika orangtua gagal memfasilitasi konflik yang terjadi dalam fenomena sibling rivalry, maka dampaknya dapat berupa serangan self esteem pada salah satu dari kedua anak yang terlibat kompetisi. Ini kenapa, jika tidak diwaspadai, sibling dapat menjadi emotional abuser pertama bagi seorang anak yang dampaknya akan tertinggal selama bertahun-tahun bahkan hingga sang anak tumbuh dewasa jika ia tidak mampu mengatasinya. Salah seorang anak yang saya kenal, terlihat selalu berusaha meletakkan telapak tangan di pipi kirinya, setiap hari, di sekolah. Ketika saya tanya, ternyata ia malu karena memiliki tahi lalat di pipinya. Asal tahu saja, kalau saya tanya semua orang di sekitar saya, hampir dapat dipastikan semua orang mengatakan anak ini sangat tampan, dan kenyataannya memang begitu. Ia memang memiliki tahi lalat sangat kecil di pipi kirinya, yang sebenarnya menurut banyak orang justru membuatnya terlihat lebih manis. Tapi ternyata 99 % ketampanannya ini tidak ia sadari dan ia lebih concern dengan 1 % kekurangannya (yg sebenarnya bukan kekurangan juga). Usut punya usut, kakak laki-lakinya di rumahlah yang selalu meledek tahi lalatnya ini. Ia sering dipanggil Mr Bean, tompel Mol, dsb gara-gara tahi lalatnya, dan karena dilakukan secara intens serta terus-menerus akhirnya membuat si anak kehilangan self esteemnya. Dampak dari emotional abuse memang layaknya proses brainwashing dimana pikiran kita bisa dibelokkan menjadi sangat negatif dalam memandang diri kita sendiri. Itulah tujuan seorang emotional abuser, untuk membuat korbannya kehilangan kelayakan diri dan mempertahankan perasaan tersebut sehingga ia berada sang abuser berada di posisi superior. Beverly Engel dalam bukunya, Emotionally Abused Woman, mengatakan : “Those who are being emotionally abused often grow to believe their abuser’s accusations, and you may not know that you are being emotionally abused”. Seringkali korban emotional abuse tidak sadar bahwa dirinya sedang di abuse, yang ia tahu hanya bahwa dirinya tidak cukup baik dalam segala hal. Pikiran yang negatif tentunya melahirkan konsep diri yang negatif, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya self esteem atau penghargaan kita atas diri kita sendiri. Saya sendiri sebagai anak ke-dua merasakan dalamnya setiap kata-kata yang diucapkan kakak saya kepada saya sewaktu kecil, baik yang positif maupun yang negatif, dan saya percaya begitu saja dengan semua kata-kata itu. Salah seorang teman saya (yang juga anak kedua) bahkan menceritakan sebuah pengalaman lucu, sebagai anak perempuan yang berbadan gemuk ia terus mendapat ejekan dari kakak laki-lakinya, tidak hanya mengenai bentuk tubuhnya, tapi juga kemampuan-kemampuannya di berbagai bidang yang selalu dibuat underestimate. Suatu ketika sewaktu SMP karena sudah tidak tahan lagi dengan semua atribut negatif yang diyakinkan kakaknya, ia menubruk kakaknya ke dinding dan mencengkeram lehernya sambil berteriak : “Aku tidak begitu !!!” sambil terbahak-bahak, teman saya menceritakan bahwa peristiwa itu adalah titik balik pertama yang terpenting dalam hidupnya. Sedemikian pentingnya hingga mempengaruhi dirinya hingga sekarang. Saat ini teman saya aktif di salah satu lembaga yang didirikannya untuk mengadvokasi para wanita korban pelecehan, dan telah berkeliling hampir ke semua benua di dunia untuk bekerjasama dengan berbagai lembaga asing dalam memperjuangkan hal ini. thx to my abusive brother katanya. Ketika masih berada dalam masa kanak-kanak, memang tidak mudah bagi kita untuk mampu menghalangi serangan emotional abuse begitu saja. Disinilah sebenarnya peran orangtua untuk memfasilitasi konflik yang terjadi antar saudara kandung. Seringkali sebagai orangtua kita tidak begitu peka dengan apa yang sedang terjadi dan menganggap konflik yang terjadi antar saudara hanyalah hal yang biasa. Coba perhatikan lebih baik, apakah ada salah satu pihak yang nampak sangat terluka, atau mulai ada perilaku baru yang muncul akibat kata-kata tertentu, seperti dalam kasus anak yang saya ceritakan di atas, perilaku meletakkan tangan di pipi kirinya setiap saat seharusnya cukup menjadi pertanda bahwa pikiran negatif tertentu telah berhasil ditanamkan di benak si anak sehingga mempengaruhi perilakunya. Emotional abuse sebenarnya dapat berwujud dalam berbagai bentuk. Beverly Engel menyebutkan beberapa jenis emotional abuse sebagai berikut : Domination,Verbal assault, Abusive expectation, Emotional blackmail, Unpredictable responses, Constant criticism, Character assasination, Gaslighting, Constant chaos, Sexual harasment. Kesemua kategori di atas dapat menjadi emotional abuse apabila dilakukan secara intens, terus menerus, dan bertujuan untuk mendominasi serta bersikap tidak respect terhadap seseorang. Mengingat dampaknya yang cukup membekas, saya merasa sangat penting bagi kita yang merasa masih dipengaruhi oleh sisa-sisa emotional abuse di masa lalu untuk menyelesaikan unfinished business-nya secara psikologis sehingga tidak mempengaruhi kehidupannya saat ini atau di masa mendatang secara negatif. Kemampuan untuk berdamai dengan masa lalu sangat penting perananya dalam mengobati luka-luka yang telah muncul, selanjutnya mengubah pikiran-pikiran negatif yang telah berhasil ditanamkan emotional abuser terhadap kita menjadi pikiran-pikiran positif sangat penting unutk mendapatkan kembali harga diri dan membangun konsep diri kita menjadi lebih positif. Desakan ingin pipis akibat terlalu banyak minum soda dan kafein secara bersamaan, serta cuaca yang dingin mengakhiri diskusi kami malam itu. Sebelum pulang kami mampir ke toilet untuk yang kesekian kalinya. Tidak beda dengan konsep psikologi bahwa menahan sesuatu bisa berdampak tidak sehat, maka kami pun tidak ingin menahan desakan di kandung kemih sehingga menjadi simptom yang muncul ketika bermimpi (ngompol, red) (^_^)’>

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun