Jika kita menelusuri jauh ke belakang, RUU Perampasan Aset telah melewati perjalanan yang cukup panjang. RUU ini pertama kali digagas oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) pada tahun 2003 dengan mengadopsi The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Namun dalam perjalanannya, menuai pro dan kontra yang membuat RUU tidak segera disah-kan oleh DPR RI. RUU Perampasan aset tersebut sempat masuk pada daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2005-2009, bahkan menjadi salah satu RUU prioritas pada tahun 2008.
Selanjutnya, RUU Perampasan aset kembali dimasukkan dalam Prolegnas 2015-2019. Namun sayangnya, RUU Perampasan Aset tidak pernah disentuh dan tidak pernah sekalipun dibahas karena alasan tidak masuk daftar prioritas utama.
Seiring berjalannya waktu, kasus kekayaan tak lazim yang dimiliki para pejabat publik kian menjadi sorotan masyarakat. Dalam hal ini lemabaga yang memiliki fokus pada pemberantasan tindak pidana korupsi yakni KPK, menduga kuat adanya ketidakjujuran pejabat publik dalam melaporkan kekayaan melalui Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).
Pada tahun 2023, Presiden Joko Widodo akhirnya mengirimkan Surat Presiden Nomor R22/Pres/05/2023 ke DPR terkait pembahasan RUU Perampasan aset. RUU Perampasan aset akhirnya masuk daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2023. Namun sayangnya nasib dari RUU tersebut juga mangkrak di tengah jalan.Â
Kendati demikian, kita telah menyaksikan dan ikut terlibat secara lansung dalam proses sirkulasi kepemimpinan nasional pada tahun 2024. Dimana momentum tersebut merupakan agenda 5 tahunan untuk memilih pemimpin yang akan menahkodai Indonesia untuk 5 tahun kedepannya. Prabowo Subianto yang terpilih secara konstitusional (PEMILU) sebagai Presiden ke 8 Republik Indonesia, juga memiliki spirit yang sama dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi.Â
Dalam pidato kenegaraannya pada tanggal 20 Oktober 2024. Presiden Prabowo Subianto dalam narasinya, berkomitmen akan bertindak tegas untuk memberantas tindak pidana korupsi di masa kepemimpinannya. Langkah yang ditempuh dengan cara memenjarahkan dan memiskinkan para pejabat yang berwatak korupsi. Sprit yang tersampaikan tersebut hanya bisa tercapai jika RUU Perampasan aset segera dibahas dan disahkan menjadi sebuah produk hukum (Undang-Undang) yang mengikat semua pihak.Â
Namun alih-alih RUU tersebut mau disahkan, DPR-RI sebagai representasi wakil rakyat hanya sibuk dengan menaikan tunjangan kerja dan fasilitas mereka. Kerja-kerja politik DPR tersebut akhirnya mendapat kritikan tajam dari seluruh lapisan masyarakat. Protes demonstrasi yang berhujung pada pengerusakan dan pembakaran sejumlah fasilitas umum, gedung-gedung DPRD disejumlah kabupaten/kota, dan beberapa kantor kepolisian.Â
Serangkaian aksi protes tersebut jangan hanya dipandang sebagai aksi anarkisme dan brutalitas, namun DPR & Presiden harus berbenah diri dan menyadari semua itu merupakan akumulasi kemarahan rakyat kepada para wakilnya yang mementingkan kepentingannya dan tidak peduli terhadap nasib bangsa dan rakyatnya sendiri.Â
Rakyat sebagai pemegang kedaulatan absolut, yang telah mempercayakan kedaulatan itu kepada DPR sebagai representasi rakyat melalui mekanisme konstitusional (PEMILU) harus benar-benar menyerap setiap aspirasi rakyat dan siap bekerja untuk melayani kepentingan rakyat. Sebagai pengingat, didalam kerja-kerja politik (Pembentukan UU) yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat harus diimbangi pula dengan kekuatan moral dari para wakil rakyat (DPR), sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak cenderung bermuarah pada kepentingan elit dan segelintir orang saja.Â