Dalam kearifan Jawa, ada satu pepatah yang menggigit dalam diam: cebol (ng)gayuh lintang. Ia bukan sekadar penggambaran orang bertubuh pendek yang mencoba meraih bintang, tetapi sindiran tajam bagi mereka yang bercita-cita terlampau tinggi tanpa menakar kemampuan diri. Mereka yang mengulurkan tangan ke langit, padahal berdiri pun belum tegak. Mereka yang ingin bicara tentang dunia, padahal belum selesai berdamai dengan diri sendiri.
Kini, pepatah ini bukan hanya kutipan budaya; ia menjelma kenyataan sehari-hari. Di meja-meja kekuasaan, ruang akademik, dan jagat media sosial, kita menyaksikan parade manusia-manusia yang haus akan pengakuan, tapi malas membangun isi. Mereka ingin dikenang sebagai pemikir, padahal belum pernah berpikir. Mereka ingin memimpin, padahal tak mampu memimpin logikanya sendiri.
Ambisi adalah anugerah, tetapi tanpa kapasitas, ia berubah menjadi bencana. Kita sedang hidup di zaman ketika nyali menggantikan isi, Â dan keberanian berbicara menggantikan kompetensi berpikir. Orang-orang berlomba tampil meyakinkan, meski di dalamnya kosong melompong. Mereka membaca satu buku, bicara layaknya seorang ahli. Mereka ikut satu pelatihan, merasa layak mendikte dunia. Inilah cebol-cebol baru yang tak hanya gagal mengenal dirinya, tapi juga menyesatkan orang lain dengan retorika yang memabukkan.
Lebih ironis lagi, mereka sering tampil sebagai penyelamat: tokoh reformasi, pemimpin muda, intelektual progresif. Padahal, yang mereka bangun bukan gagasan, melainkan panggung. Bukan narasi, tapi branding. Bukan visi, melainkan manipulasi.
Ketika Panggung Mengalahkan Nalar
Media sosial memperparahnya. Kita tidak lagi hidup di dunia yang mengagungkan ilmu, tapi di dunia yang mengagungkan impresi. Dalam jagat digital, popularitas menggantikan kualitas, dan volume suara menggantikan kedalaman makna. Maka tak heran bila suara paling keras, meski sesat, sering kali paling cepat dipercaya. Kita bukan sedang merayakan kemajuan, melainkan sedang memperhalus kemunduran dengan pencitraan.
Si "cebol" zaman sekarang bukan hanya mereka yang belum matang, tapi mereka yang tahu bahwa mereka tidak matang, dan tetap memaksakan diri tampil sebagai dewasa. Mereka tahu bahwa mereka hanya sedang menjual fatamorgana, tapi tetap percaya diri seolah sedang menggenggam kebenaran.
Refleksi: Sekarang Siapa yang Salah?
Kesalahan tidak sepenuhnya ada pada mereka yang "cebol (ng)gayuh lintang". Sebab masyarakat pun ikut andil dalam memelihara absurditas ini. Kita terlalu mudah memuja kemasan, dan terlalu malas mengupas isi. Kita terpesona oleh yang viral, dan abai pada yang berkualitas. Kita lebih senang mendengar orasi bombastis daripada paparan ilmiah yang membosankan. Kita menyukai drama, bukan logika.
Dengan kata lain, kita telah menciptakan lingkungan yang subur bagi tumbuhnya "cebol-cebol" yang terus merentangkan tangan, mengira bintang bisa dijangkau dengan percaya diri semata.