Mohon tunggu...
Vita Achmada
Vita Achmada Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Surabaya

Saya merupakan Mahasiswa aktif yang mempunyai rasa ingin tahu yang besar pada isu-isu Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pakaian Korban dan Tindakan Pelecehan Seksual Bukan Hubungan Sebab Akibat

18 Oktober 2022   06:53 Diperbarui: 18 Oktober 2022   07:01 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam konteks ruang dan waktu pelecehan seksual dapat terjadi kapanpun dan dimanapun. Dapat terjadi oleh siapapun perempuan maupun laki-laki. Menurut kasus yang telah terjadi di Indonesia, pelecehan seksual dapat terjadi pada anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua. 

Meskipun upaya sosialisasi tentang kasus pelecehan seksual beserta sanksinya terus dilakukan, sehingga kesadaran masyarakat meningkat. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa kasus pelecehan seksual terus meningkat di Indonesia.

Pelaku yang didominasi oleh laki-laki menuntut perempuan untuk selalu berhati-hati. Di masyarakat, perempuan selalu ditekan untuk memperhatikan cara berpakaian, pandai menjaga diri, perkataan, sikap dan perilaku. 

Hal tersebut semata-mata agar tidak mengundang perlakuan tidak senonoh yang mungkin terjadi. Jika sesuatu sudah terjadi, yang dipermasalahkan pertama kali adalah kelalaian korban. Sedangkan tindakan asusila dari pelaku tidak menjadi titik berat permasalahan.

Kenyataannya, hasil dari survei ruang publik pada tahun 2018. Sebanyak 18% kasus pelecehan seksual terjadi pada mereka yang mengenakan rok, 17% dari mereka yang mengenakan jilbab dan 16% mereka yang mengenakan baju lengan panjang. Namun sebagian masih menyangkal bahwa jika bukan kemauan korban maka tidak akan terjadi kasus pelecehan seksual. 

Korban yang membutuhkan dukungan dan keadilan malah mendapat kecaman balik dari publik. Tidak sedikit dari korban pelecehan seksual memilih untuk menutupi tindakan asusila yang diterimanya. Hal itu terjadi karena ancaman dari pelaku atau kebanyakan masyarakat menjudge bahwa tidak akan ada asap jika tidak ada api.

Seorang kiai di pondok pesantren Lembah Arafah Lumajang, Jawa timur yang mencabuli 3 santriwatinya. 3 ustadz di pondok pesantren Istana Yatim Riyadul Jannah memperkosa 11 santriwatinya. Santriwati berumur 15 tahun diperkosa oleh salah satu pimpinan pondok pesantren di Subang. 

Pemilik pondok pesantren Tahfidz Al-Ikhlas Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Bandung, Jawa Barat memperkosa belasan santriwatinya di berbagai tempat. Memperkuat bahwa pelecehan seksual bukan karena pakaian yang dikenakan korban.

Tokoh penting masyarakat, pemuka agama, pimpinan yayasan pun yang merupakan pelaku tindakan asusila bukan berarti kita berpindah haluan malah menyalahkan korban. 

Cara pandang keliru seperti ini membuka kemungkinan besar korban pelecehan seksual malah menyalahkan dirinya sendiri. lalu memilih untuk menutup kasus dan membungkam rapat-rapat mulutnya agar tak bersuara. 

Ironisnya, ketika banyak pihak yang berfokus pada cara pakaian korban, pelaku dapat mencari celah agar semua kesalahan berpihak pada korban. Lalu pelaku yang cerdik dapat menempatkan diri bahwa perbuatan asusilanya disebabkan oleh pakaian korban yang mengundang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun