Mohon tunggu...
Syaripudin Zuhri
Syaripudin Zuhri Mohon Tunggu... Pembelajar sampai akhir

Saya senang bersahabat dan suka perdamaian. Moto hidup :" Jika kau mati tak meninggalkan apa-apa, maka buat apa kau dilahirkan?"

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Sekali Berarti Setelah Itu Mati

26 September 2025   06:13 Diperbarui: 26 September 2025   06:13 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dengan motto di atas " Sekali berarti, setelah itu mati", agar ingat ada sesuatu yang bisa kita tinggalkan saat mati nanti. Dok. SZ. 

Ada yang salah ketika bermimpi, loh kok bisa? Ya bisa saja, mengapa tidak? Coba lihat saja, betapa banyak yang “salah jalan” ketika ingin kaya dengan menjadi penulis. Ingin kayak kok menjadi penulis, apa tidak salah? Mana ada yang kaya gara-gara menjadi penulis? Mungkin satu, dua ada, atau dari seribu orang ada satu, dua, yang kaya gara-gara menulis.

Tapi kalau dilihat kebanyakan atau secara umum, profesi penulislah yang susah mendapat pemasukan atau dana yang besar. Lihat saja di toko-toko buku, begitu banyak buku yang terpajang, namun sedikit yang terbeli. Bahkan kalau anda lihat sekarang di toko buku terbesar di Jakarta, lebih banyak penjaga tokonya dari pada pembelinya, apa lagi pembeli buku, sepi. Sudan tergerus HP dan  AI. Kalau mau dilihat secara umum lagi, sebuah buku naik cetak, sekitar 3000-5000 exampler persekali cetak, bisa satu tahun baru laku terjual bahkan ada yang bertahun-tahun mangkrak di rak toko buku, memang ada beberapa yang mengalami Best Seller, sehingga mengalami beberapa kali cetak ulang, bahkan bisa puluhan kali.

Buku jenis itu biasanya adalah novel-novel yang “meledak” di pasaran, seperti karyanya JK Rowling, “Harry Potter” atau karyanya Dan Brown, “ Da Vinci Code” itu untuk menyebut tingkat dunia, kalau tingkatan Indonesia seperti karyanya Kang Abik, “ Ayat-Ayat Cinta” dan “ Ketika Cinta Bertasbih” atau karyanya Andre Hirata, “ Laskar Pelangi” itu sebagai contoh saja.

Namun kalau dibandingkan jumlah penulisnya dengan jumlah atau judul buku yang mencapai Best Seller tadi sangat jauh, penulisnya sudah ribuan dan menghasilkan berbagai macam judul buku, tapi buku yang Best Seller, sekali lagi hanya dalam hitungan jari tangan, jadi benar-benar tak sebanding. Memang butuh riset mendalam untuk hal tersebut, tapi secara kasat mata bisa dilihat dari jumlah buku yang diterbitkan perbulan dibandingkan jumlah buku yang berhasil dijual Best Seller itu berbanding terbalik.

Judul buku perbulannya begitu banyak dihasilkan, tapi yang terjual begitu sedikit, apa lagi harga buku begitu mahal untuk ukuran rakyat kebanyakan. Untuk ukuran sebuah buku atau novel setebal 350 halaman misalnya, tak kurang dari harga diantara Rp. 150.000- Rp. 200.000, tergantung jenis kertas yang dipergunakan, lagi-lagi ini perlu penelitian yang lebih mendalam. “Celakanya” lagi masyarakat kita di Indonesia minat bacanya tergolong rendah, kecuali kalau baca SMS atau chating di internet, seperti lewat FB, Twitter dan lain sebagainya.

Namun membaca serius untuk sebuah buku, apa lagi buku yang tebal, di atas 500-an halaman, waduh mungkin berkata” ga janji deh”. Lebih “celaka” lagi minat membaca dikalangan pemuda dan anak-anak, bisa dikatakan sangat rendah. Karena kalah dengan visual dalam bentuk game, kalau dulu Nitendo, Mario, SP dan lain sebagainya, sekarang jenisnya mungkin ribuan, dan itu gratis di sediakan internet, sehingga berbondong-bondonglah ABG itu ke warnet, bukan untuk membaca, tapi main game!

Kembali ke penulis, bisakah menjadi kaya gara-gara menulis, bisa! Tapi sekali jangan bermimpi, karena lebih banyak yang tidaknya, ketimbang yang benar-benar berhasil menjadi kaya dengan menjadi penulis. Lalu apakah harus berhenti menulis? Ya tergantung pada niat masing-masing. Kalau ingin kaya materi, sangat jauh didapatkan dari menulis, tapi kalau ingin kaya rohani, menulis pintu masuk yang paling mudah, apa lagi sudah nulis, tapi tak dibayar, ya gampang itu, nulis saja di blog seperti di kompasiana, beres!

Loh kok matre banget sih? Bukan, bukan matre, tapi ingin menunjukan realitas kehidupan para penulis. Masih ingat tentang Pramoedya Ananta Toer? Yang gara-gara novelnya “ Bumi Manusia” akhirnya masuk bui di jaman Orba! Namun kini di era Reformasi, Pramoediya Ananta Toer bisa “berkipas-kipas” karena dari buku yang dihasilkannya, tapi itu setelah beberapa tahun kemudian.

Kebanyakan para penulis malahan tenggelam dengan tulisannya, walau lagi-lagi ada beberapa penulis yang berhasil dengan karyanya. Jadi bisakah kaya dengan menulis, bisa! Asal si penulis itu bukan hanya menulis sebagai kerjaan utamanya, dan biasanya buku terkenal dihasilkan oleh penulis-penulis yang justru sebelumnya tak dikenal. Tapi buku menjadi Best Seller bila penulisnya memang sudah terkenal lebih dahulu, orang pasti tertarik untuk membacanya.

Tapi kalau masih pemula dan tulisannya disodorkan ke penerbit, biasanya, ini cerita para penulis yang sudah top sekarang, ketika mereka pada awalnya menawarkan kepada penerbit buku pertama mereka, bisa puluhan penerbit menolaknya. Dari pengalaman tersebut, para penulis sekarang banyak yang membuat buku, kemudian dicetak dan diterbikan sendiri, bayangkan berapa modalnya, dan itupun belum tentu laku dijual, prihatin bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun