Mohon tunggu...
Viorensia
Viorensia Mohon Tunggu... Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada

Halo! Namaku Viorensia, biasa dipanggil Vio. Saat ini aku adalah seorang mahasiswi aktif angkatan 2024, Magister Kenotariatan pada Universitas Gadjah Mda, dengan latar belakang pendidikan hukum dari Universitas Sriwijaya. Aku memiliki minat yang kuat pada isu-isu hukum perdata, kenotariatan, dan administrasi kependudukan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Eksekusi hak Tanggungan: Antara Efisiensi dan Kepastian Hukum

4 Mei 2025   20:45 Diperbarui: 4 Mei 2025   20:45 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, menyebutkan bahwa "hak tanggungan adalah jaminan yang dibebankan atas hak atas tanah dan benda-benda yang melekat padanya, memberikan hak kepada kreditor untuk melaksanakan eksekusi apabila debitor wanprestasi".

Proses pembebanan Hak Tanggungan dilakukan melalui dua tahap utama, yaitu tahap pemberian Hak Tanggungan dan tahap pendaftarannya. Tahap pertama dimulai dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) UU Hak Tanggungan. APHT merupakan akta otentik yang menjadi dasar hukum bagi kreditor untuk memperoleh jaminan atas tanah atau hak atas tanah yang dimiliki debitor. Namun, pembebanan Hak Tanggungan belum sempurna hanya dengan pembuatan APHT. Tahap kedua adalah tahap pendaftaran oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan secara hukum. Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) UU Hak Tanggungan, Hak Tanggungan baru dianggap sah dan mempunyai kekuatan hukum setelah dicatat dalam buku tanah oleh kantor pertanahan. Dengan demikian, meskipun APHT telah dibuat, tanpa proses pendaftaran, Hak Tanggungan belum memiliki kekuatan eksekutorial dan belum memberikan kedudukan istimewa kepada kreditor dalam hal pelunasan utang.

Adapula yang menjadi subjek pemberi hak tanggungan, diatur dalam Pasal 8 UUHT: Orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan atau disebut selaku debitor. Sedangkan pemegang hak tanggungan diatur dalam Pasal 9 UUHT: Orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang atau disebut selaku kreditor.

Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor pemegang hak tanggungan terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam hal ini, artinya kreditor yang memegang hak tanggungan berhak untuk didahulukan dalam pelunasan utang apabila debitor wanprestasi (cidera janji), yaitu dengan menjual objek jaminan melalui pelelangan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Objek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 4 UUHT, yaitu:

  • Hak Milik
  • Hak Guna Usaha
  • Hak Guna Bangunan
  • Hak Pakai atas Tanah Negara
  • Hak Pakai atas Tanah Hak Milik

Bahkan dalam perkembangan hukum, Pasal 27 UUHT menyebut bahwa Rumah Susun dan Hak Milik atas satuan Rumah Susun juga dapat dijadikan jaminan melalui pranata Hak Tanggungan. Di sisi lain, UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia juga mengakui Rumah Susun dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai objek jaminan fidusia.

Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan hak pemegang Hak Tanggungan dalam pelaksanaannya, kreditor harus mematuhi ketentuan hukum yang berlaku, khususnya Pasal 20 UUHT menyatakan:

  • Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
  • hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
  • titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.
  • Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

Dapat disimpulkan berarti dapat mengeksekusi hak tanggungan melalui kekuasaan sendiri (berdasarkan Pasal 6 UUHT) ini sering dijadikan dasar bagi kreditor untuk langsung lelang via KPKNL tanpa mengajukan permohonan ke pengadilan., berdasarkan titel eksekutorial (pasal 14 ayat (2) UUHT) ang mempunyai kekuatan hukum sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht), atau  melalui penjualan di bawah tangan atas kesepakatan para pihak.

Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. Untuk penjualan di bawah tangan, proses ini hanya bisa dilakukan setelah diumumkan di dua media dan tidak ada keberatan dalam waktu satu bulan. Selain itu, hingga pengumuman lelang diterbitkan, debitor masih memiliki hak untuk menghentikan proses eksekusi dengan melunasi utangnya beserta biaya yang sudah dikeluarkan.

Dengan adanya UU Hak Tanggungan yang memberi kemudahan dengan mengatur dasar-dasar eksekusi di atas, tata cara teknisnya harus masih merujuk pada ketentuan eksekusi hipotik. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 26 UU Hak Tanggungan, yang menyebut bahwa selama belum ada aturan pelaksana khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 memberi titel eksekutorial, dan Pasal 6 memberi hak menjual atas kekuasaan sendiri, prosedur pelaksanaannya tetap tunduk pada hukum acara eksekusi pengadilan (selama belum ada aturan khusus lainnya. Eksekusi mengikuti ketentuan Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement/HIR). Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement/ HIR) mengacu pada ketentuan Pasal 195, Pasal 196 serta Pasal 197 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement/ HIR).

Kreditor mengajukan permohonan eksekusi hak tanggungan berdasarkan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"baik secara lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri setempat di mana objek jaminan berada. Permohonan pada umumnya dilakukan secara tertulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun