Apa yang terjadi kini, saat Indonesia tengah berada pada fase memilih calon pemimpin bangsa kelak akan menjadi sejarah. Terima atau tidak, satu dari dua pasangan calon yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menjadi pemimpin Indonesia usai 9 Juli mendatang.
Mirisnya, ditengah berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahun, moral bangsa ini kian pupus saja. Banyaknya kampanye hitam yang menyerang kedua calon menjadi bukti masyarakat Indonesia tengah mengalami cacat arus modernisasi. Kemudahan akses informasi bahkan menjadi sarana berkembangnya kampanye hitam yang menyerang calon pemimpin bangsa ini.
Kampanye hitam yang disuguhkan pun menawarkan isu yang sensitif. Calon Jokowi-Jusuf Kalla kerap diserang dengan isu SARA. Di beberapa media sosial, calon presiden yang di usung partai PDI-P itu kerap dianggap presiden boneka, bahkan diragukan keagamaanya. Calon lainnya, Prabowo-Hatta kerap diserang dengan dengan isu HAM. Masa lalu Prabowo yang diduga terlibat dalam kerusuhan Mei 1998 kian nyaring terdengar.
Padahal, kedua calon telah berusaha mengklarifikasi tuduhan itu. Jokowi bahkan sampai harus menyebutkan bahwa ia pernah berhaji pada 2003 saat berpidato di Asrama haji, Pondok Gede, Jakarta Timur (Majalah Tempo edisi 2-8 Juni 2014). Pun Prabowo yang telah berkomitmen akan membicarakan soal kasus hak asasi manusia secara detail danmendatangi keluarga korban kerusuhan Mei 1998 sebagai itikad baik.
Siapa pun yang akan menang, presiden yang terpilih nanti harus mampu membuktikan kebohongan kampanye hitam yang terlanjur marak saat ini. Jokowi misalnya, tentu harus tetap “islami” selama menjadi presiden. Ia juga harusnya menjadi presiden yang berdaulat tanpa intervensi partai koalisi yang ada dibelakangnya. Ini demi sebuah pembuktian bahwa ia bukanlah Capres boneka.
Demikian juga dengan Prabowo, ia harusnya mampu membuka kembali sidang di Pengadilan ad hok demi mengusut kasus HAM jika terpilih menjadi presiden. Ia juga tak boleh menolak jika kerap dipanggil ke pengadilan untuk memberikan keterangan. Sebab, sejarah mencatat ia menjabat sebagai Panglima Kostrad saat kerusuhan itu berlangsung.
Jangan sampai, kelak sejarah mencatat apa yang terjadi saat ini memang sekadar kampanye hitam. Dan semua pilihan tersebut sebenarnya ada ditangan kita semua. Rakyat Indonesia.
VINA OKTAVIA
Pemimpin Redaksi Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra
Universitas Lampung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H