Mohon tunggu...
Vina Azzahra
Vina Azzahra Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Prodi Pendidikan Geografi

Jurusan IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Target Mitigasi Perubahan Iklim, Komitmen atau Hanya Omong Kosong?

21 Desember 2020   06:39 Diperbarui: 21 Desember 2020   07:30 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perubahan iklim merupakan fenomena menyimpangnya kondisi lingkungan khususnya cuaca di muka bumi secara global dan berkepanjangan yang penyebab utamanya tidak lain adalah aktivitas manusia yang jauh dari sebutan kata bijak.

Krisis pangan, kekeringan, wabah penyakit baru, gangguan ekologi, dan masalah lainnya menjadi dampak dari perubahan iklim. Maraknya berbagai permasalahan lingkungan itu tentu menjadi momok yang menakutkan bagi semua orang untuk keberlangsungan hidup yang akan datang. 

Aktivitas seperti penggunaan bahan bakar fosil, penggundulan hutan, dan pembuangan gas industri sembarangan terkadang tidak banyak disadari orang-orang sebagai contoh konkrit faktor timbulnya pemanasan global yang akan mempengaruhi perubahan iklim. Berbagai upaya dilakukan demi pencegahan perubahan iklim yang lebih parah lagi, salah satunya dengan diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)  mengenai perubahan iklim agar dapat menetapkan target pencegahan perubahan iklim global. 

KTT perubahan iklim telah dilaksanakan sejak tahun 1992  untuk pertama kalinya akibat isu pemanasan global yang menggema di seluruh dunia di tahun 1990.  Lalu bagaimanakah kenyataan  dari target yang direncanakan oleh konferensi global ini apakah perubahan iklim dapat ditangani? Tentunya dapat kita rasakan saat ini, keadaan dunia masih buruk bahkan lebih parah dari tahun ke tahun. 

Sejak diadakannya KTT Bumi di Rio de Janeiro di Brazil tahun 1992 yang melahirkan Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai perubahan iklim (UNFCCC). Di pertemuan tahun ke-3 (COP3) yang diadakan di Kyoto, Jepang menghasilkan Protokol Kyoto yang bertujuan mengatur tingkat emisi gas rumah kaca dalam rangka mengatasi masalah pemanasan global, khususnya bagi negara-negara maju. 

Namun nyatanya, ratifikasi ini ditolak beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, China, Kanada, dan Rusia. Padahal negara-negara tersebut termasuk pemasok emisi gas rumah kaca yang banyak mempengaruhi perubahan iklim global. AS beralasan mereka menolak karena dikhawatirkan akan mengganggu kondisi perekonomian dalam negeri mereka. Sangat disayangkan jika Protokol Kyoto dihapuskan, maka tidak ada dasar hukum global untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Apabila memang protokol ini tidak efektif, seharusnya segera diadakan perundingan untuk protokol yang lebih sesuai, tetapi sekali lagi selalu ada alasan untuk menunda di tahun-tahun berikutnya. 

Bahkan, lagi-lagi optimisme dunia untuk menangani pemanasan global dan perubahan iklim sempat terusik oleh keputusan Presiden AS Donald Trump yang menarik negaranya dari Perjanjian Paris yang diadakan tahun 2015 pada KTT Iklim COP-21. 

Trump mengklaim ketentuan atau pasal yang termaktub dalam Perjanjian Paris merugikan negaranya. Hingga kini, dalam KTT Iklim COP-25 tahun terakhir (2019) kesepakatan mengenai mitigasi perubahan iklim dianggap mengecewakan bagi warga dunia karena dianggap menggantung dan tidak terlalu mengikat bagi setiap negara untuk tujuan penurunan emisi gas rumah kaca sehingga menurunkan ambisi setiap warga negara yang mendukung mitigasi perubahan iklim. 

Padahal di pertemuan tersebut diharapkan menjadi wadah titik temu yang efektif untuk mencapai target mitigasi perubahan iklim sebagaimana Perjanjian Prancis di COP-21 yang salah satunya untuk membatasi suhu bumi dibawah 2 derajat celcius. Menurut Ketua delegasi Kepulauan Marshall, Tina Eonemto Stege dikutip dari laman m.cnnindonesia.com, ia menganggap KTT Iklim COP-25 gagal merumuskan kesepakatan untuk mencegah ancaman kenaikan muka air laut. 

Pada pelaksanaan COP-24 pun ketimbang menghabiskan waktu untuk membicarakan upaya mengurangi karbon, delegasi konferensi cenderung menitikberatkan kepada upaya untuk menyelesaikan aturan teknis tentang bagaimana perjanjian Paris akan dijalankan. Aturan perihal kesepakatan Perjanjian Prancis bahkan mencapai ratusan halaman dengan berbagai kutipan tanda kurung yang artinya masih banyak perbedaan pendapat mengenai isi kesepakatan tersebut ; menurut Camilla Born, pengamat masalah perubahan iklim dari lembaga E3G. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun