Mohon tunggu...
Viki DhulKhukmi
Viki DhulKhukmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - 101190255/ HKI I 2019

Darul Huda Mayak Ponorogo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Bunga Bank

30 November 2021   19:55 Diperbarui: 1 Desember 2021   06:53 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam mengkaji status hukum hutang di bank ada dua sudut pandang yang akan saya jelaskan disini, yaitu sudut pandang ulama salaf dan ulama kontemporer.

pertama sudut pandang ulama salaf (kajian ini adalah yang umum dipakai oleh para santri dan dai-dai), hutang bank masuk dalam kategori akad Qord.  Sehingga dalam menstatuskan hukumnya bagaimana kita mesti merujuk ketentuan yang terdapat dalam bab qord sendiri.

Hutang di bank secara praktek bisa dipastikan pasti ada bunga yang harus dibayar oleh muqtarid (orang yang hutang) ketika menerimanya. Secara nalar fiqih klasik, sulit mengkategorikan bunga hutang di bank ini sebagai administrasi, sebab administrasi hanya berkaitan dengan pembayaran hal-hal yang berkaitan dengan hutang, seperti materai, ongkos transportasi dan lain-lain, sehingga biaya administrasi seharusnya logis (tidak terlalu mahal) dan tidak ada administrasi yang nominalnya ditingkatkan seiring dengan besarnya nominal hutang. Perbedaannya dengan nominal bunga yang ada saat kita hutang di bank. Maka tidak ada jalan lain dalam menghukumi bunga yang ada pada hutang di bank kecuali masuk dalam koridor kaidah
كل قرض جر نفعا فهو الربا

"Setiap hutang yang terdapat manfaat yang kembali pada muqrid (orang yang menghutangi, dalam hal ini adalah pihak bank), adalah riba".

Sehingga hukum hutang uang di bank jika mengikut pada malam ini adalah hal yang diharamkan dan tergolong riba. Tidak boleh kita praktekkan kecuali dalam keadaan darurat.

Yang kedua sudut pandang ulama kontemporer. Sudut pandang ulama kontemporer seperti syekh Ali jum'ah dalam menyikapi hutang di bank, menyebut ada kesalah pahaman dalam menstatuskan hutang di bank dengan langsung dikategorikan sebagai akad qord. Sebab ada perbedaan mendasar antara konsep akad qord yang ada dalam fikih klasik dengan jasa pemberian hutang yang berlaku di bank. Diantaranya adalah:

*Akad qord dalam fikih klasik semangatnya adalah menolong orang lain (aqd al-irfaq) sedangkan jasa pemberian hutang di bank tidak berpedoman pada prinsip menolong orang lain, tapi lebih pada pertukaran (mu'awadlah) dengan mengambil keuntungan.
*Akad qord di masa lampau hanya berkaitan dengan transaksi antar individu, sedangkan hutang di bank bukan transaksi antar individu, tapi individu dengan instansi atau lembaga yang didalamnya perlu sirkulasi keuangan yang stabil untuk mencukupi gaji pegawai, biaya gedung dan lain-lain.

*Gambaran riba yang berlaku dalam akad qord dalam fikih klasik adalah ketika pertukarannya antara uang emas dan perak, berbeda dengan hutang di bank saat ini yang mana bentuk uang yang dipinjamkan bukan lagi menggunakan emas perak, tapi dengan uang yang berlaku di negara tersebut.

Jadi menurut pandangan ulama kontemporer di atas ada kesalahan nalar dalam status kan hutang di bank dengan langsung dijustifikasi sebagai akad qord, sebab sudah berada pada konteks yang berbeda. Hutang di bank lebih pas untuk di status kan sebagai akad baru yang tidak ada kaitan dengan ketentuan yang ada pada akad qord. Para ulama kontemporer ini menyebut hutang di bank dengan sebutan akad TAMWIL (pengembangan atau investasi) yang bukan termasuk riba dan diperbolehkan ketika tidak ada unsur penipuan di dalamnya.

Para ulama kontemporer menyamakan kasus kelirunya mengkategorikan transaksi di bank sebagai qord dengan kesalahan yang terjadi di zaman dahulu berupa mengkategorikan kopi sebagai khamr, sebab istilah qohwah (kopi) di zaman dahulu adalah nama lain dari khamr, sehingga banyak yang memfatwakan keharaman minum kopi, dan masyarakat saat itu tidak berani minum kopi karena dianggap sama seperti khamr. Fatwa ini kemudian dibantah oleh syaikhul Islam Zakaria Al Anshori dengan menjelaskan kalau kopi itu tidak memabukkan, jadi halal untuk diminum. Begitu juga kasus fotografi yang disamakan dengan keharaman shurah yang dijelaskan dalam beberapa hadits.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun