Mohon tunggu...
Xavier Kharis
Xavier Kharis Mohon Tunggu... -

“Dalam kesadaran moral ku, mata Allah menatapku, dan sejak itu, tak pernah dapat aku melupakan bahwa mata itu memandangku” (Kierkergaard)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memberhalakan Keyakinan

10 Februari 2019   22:35 Diperbarui: 10 Februari 2019   22:45 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Keyakinan urusannya berkaitan dengan iman kita kepada Tuhan, dan keyakinan terkandung dan terstruktur di dalam agama-agama yang ada. Jika kita melihat pada KBBI, maka agama memiliki definisi "ajaran", atau "sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya". Dalam konteks pembahasan kita saat ini, mari kita fokus kepada "ajaran", dan "sistem".

Untuk memperluas wawasan kita, saya akan memulainya dengan menggelisahkan pikiran kita dengan pertanyaan, bila agama adalah ajaran dan sistem, maka dapatkah kita membedahnya dan memeriksa ulang? Atau lebih ekstrem lagi, dapatkah kita melakukan falsifikasi terhadap agama? Saya mencoba untuk menyentuh argumentasi Aloysius Pieris mengenai agama dan filsafat. Ia memberi pandangan bahwa agama dan filsafat tidak dapat dipisahkan karena keduanya merupakan kesatuan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati mungkin kita harus menerima juga bahwa agama merupakan filsafat yang dihayati dan diimani (Pieris, 1996:139). Kebenaran yang kita terima dalam keimanan kita berasal dari filsafat yang kita hayati dan kita resapi itu. So, adakah kebenaran yang mutlak?

Beberapa minggu yang lalu saya berargumen bahwa filsafat adalah upaya manusia dalam pencarian akan makna dalam kehidupan ini, bagaimana dengan agama? Bukankah agama juga merupakan media untuk orang beriman mencari makna? Kita mencari makna tentang  apa yang harus kita lakukan di dunia ini, dan apa yang Tuhan ingin katakan kepada kita dalam kehidupan ini. Gunanya agama adalah untuk membantu kita mencari jawaban itu sepanjang hidup kita.

Tetapi yang menjadi kesalahan umat beragama adalah ketika ajaran, sistem, dan tradisi lebih dipegang teguh dengan ketat, dan Tuhan sebagai fokus kita malah menjadi sedikit "terabaikan" karena kita lebih fokus kepada ajaran. Mungkin dengan menjaga tradisi itu kita merasa sedang memahami bahkan sudah memahami Tuhan. Padahal kenyataanya kita sedang menjadikan keyakinan kita sebagai suatu "berhala".

Mengapa berhala? Saya rasa ini sangat kejam untuk dikatakan, tetapi nyatanya sungguh layak untuk dikatakan. Karena kita perlu ingat bahwa fokus kita adalah kepada Tuhan, dan agama adalah media untuk fokus dan menuju kesana. Secara simple, saya ingin menggambarkan sama seperti ketika saya menempuh perjalanan dari Yogyakarta menuju kota Kudus. Dalam perjalanan, saya menggunakan GPS untuk menuju kesana. Kadang kala GPS bisa keliru dalam menunjukan arah mana yang lebih efektif dan tidak terkena macet. Oleh karena itu saya perlu memeriksa ulang GPS sebagai media saya menuju kota Kudus.

Begitu pula dengan agama. Agama merupakan GPS kita untuk menuju kepada Tuhan. Karena hakikatnya adalah "media", maka agama yang hadir dalam dunia ini merupakan rumusan yang lahir dari rahim pikiran manusia. Karena merupakan media yang digunakan oleh manusia, maka perlu juga untuk diperiksa ulang apakah sudah tepat atau perlu dikaji ulang.

Tetapi, alih-alih manusia melakukan itu, manusia justru menganggapnya sebagai suatu yang sakral dan tidak boleh diganggu gugat kebenarannya. Bagi saya itu adalah kemalasan untuk berpikir dan melangkahkan pikiran kita untuk maju dengan menggunakan dalih bahwa agama itu  terlalu sakral untuk dibedah.

Ingat! Fokus kita adalah Tuhan, dan agama adalah medianya. Kalau kita lebih mempertahankan ajaran dan sistem tanpa kita periksa ulang, maka kita sudah menjadikannya suatu berhala. Karena fokus kita tidak lagi kepada Tuhan dan penyataan-Nya, tetapi kepada ajaran-ajaran yang sebenarnya adalah media kita untuk menuju kepada Tuhan. Sebenarnya menjaga ajaran tidak akan menjadi salah kalau kita terlebih dahulu memahami hakikat dan fungsi agama dalam rangka mencari makna dalam hidup ini, yang ada kaitannya dengan Tuhan dan penyataan-Nya. Tetapi zaman terus maju. Gaya kita berpikir, bahkan pula gaya kita beriman juga harus terus bergerak maju. Tuhan mungkin sedang menyatakan kehendak-Nya sesuai dengan zaman yang berkembang, loh kok kita malah beriman dengan cara yang gitu-gitu aja? Malah bisa jadi gak sinkron dong? 

Ya Tuhan, 

kami yakin dan percaya kepada-Mu..

terima kasih Engkau telah memberikan kami

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun