Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Pencitraan

21 September 2020   18:00 Diperbarui: 22 September 2020   11:39 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Ranah politik dewasa ini, kian menjadi arena pertarungan ketimbang locus diskursus tentang kebaikan bersama (bonum commune). Pertarungan politik tampak pada praksis politik yang cenderung saling menyerang. Saling sikut di kalangan elite malah memecah-belah kalangan akar-rumput. Berpolitik yang sejatinya adalah aktivitas luhur, kini telah direduksifasi secara sempit pada fenomena saling serang antarkubu politik.

Praksis politik yang keliru tentu saja berangkat dari konsep politik yang dimengerti secara keliru pula. Sejatinya, aktivitas berpolitik melulu usaha sekian banyak orang dalam rangka mewujudkan kebaikan bersama. Berpolitik yang benar selalu berkarakter diskursif. Kebaikan Bersama selalu ditemukan dalam sebuah diskusi yang tidak memihak. Habermas pernah mengatakan bahwa ruang publik menjadi penting dalam rangka mewujudkan sebuah konsensus yang tidak memihak. Dalam sebuah diskusi terbuka, setiap suara didengar. Diskusi selalu mengandaikan usaha menerima setiap perbedaan tanpa ada disposisi superior terhadap yang lain. Tanpa diskusi, sebuah konsensus takkan pernah tercapai. Aktivitas berpolitik sama sekali tidak identik dengan retorika provokatif orang-orang tertentu. Retorika politik yang benar selalu menjunjung tinggi kebenaran di atas kepentingan kelompok tertentu.

Pemahaman yang keliru atas konsep politik telah menjadikan praksis politik sebagai usaha merebut posisi dan memperkaya diri. Orang-orang tertentu telah menjadikan ranah politik sebagai lahan mencari uang pribadi ketimbang  usaha mencapai Kebaikan Umum. Salah satu praksis yang telah menodai ranah politik ialah pencitraan politik. Demi meraup legitimasi massa, beberapa elite rela menipu dan menjilat. Pencitraan politik adalah strategi ampuh merebut posisi ideal dalam ranah politik. Beberapa orang mencari uang dengan cara kotor seperti ini.

Dalam arti tertentu, politik pencitraan tidak lain adalah strategi menarik massa sekaligus meraup legitimasi dengan cara manipulasi citra. Citra agen politik dalam hal ini diusahakan sesuai dengan pengalaman kegelisahan, harapan, kegembiraan dan bahkan keyakinan religius kelompok tertentu. Dengan begitu, wacana yang diproduksi “seolah-olah” dapat menjawab pergulatan hidup konkret kelompok yang sedang dimanipulasi. 

Wacana dalam logika yang demikian mampu menciptakan kolektivitas sosial. Salah satu faktor efektivitas sebuah wacana tidak lain adalah kesesuaiannya dengan kondisi objektif massa tertentu. Situasi semacam ini memungkinkan kritikan, fitnah, tuduhan dan ujaran kebencian atas lawan politik. Semua wacana yang disampaikan harus memuaskan massa dan pada saat yang sama memberi kepercayaan kepada agen atau partai penelor wacana. Untuk membangun kepercayaan massa, kontestan politik bisa saja menyebarkan wacana yang manipulatif dan dominatif. Wacana yang demikian tidak lain adalah sebatas pencitraan yang menipu.


Upaya meraup simpati massa dan kepercayaan rakyat dilakukan secara beragam oleh para politisi. Di Indonesia, Jokowi memproduksi wacana “Generasi Kerja”. Dalam arti tertentu, produksi slogan ini bagian dari aktivitas “memaksakan” cara pandang Jokowi kepada masyarakat. Tatkala “Generasi Kerja” berhasil diakui oleh massa, maka, wacana produksi Jokowi berhasil menjadi cara pandang yang dianggap universal atau terlegitimasi bagi kelompok pemilih Jokowi. Citra, misi dan visi politik Jokowi dapat diwakili oleh slogan “Generasi Kerja”. Atau wacana lain yang diproduksi oleh Jokowi, misalnya: “Revolusi Mental”. Slogan ini dapat mewakili cara kerja, orientasi dan jiwa aktivitas berpolitik a la Jokowi. Kabinet yang dibentuk Jokowi pun dapat didefinisikan oleh slogan “Generasi Kerja” dan “Revolusi Mental”. 

Sebaliknya, Prabowo yang menjadi lawan Politik Jokowi mengusung wacana “Make Indonesia Great Again” yang diadopsi dari Donald Trump. Sekali lagi, wacana ini sekaligus mewakili identitas politik Prabowo. Citra, visi dan misi politik Prabowo terangkum dalam slogan tersebut.

Persoalan politik muncul tatkala slogan sama sekali tidak mewakili misi dan visi otentik sang politisi. Bisa saja slogan “NKRI Harga Mati” dimaksudkan sebagai pencitraan belaka. Bila yang terjadi demikian, wacana yang diproduksi tidak lain adalah wacana yang memanipulasi dengan tujuan dominasi sosial. 

Di Indonesia, tendensi semacam ini biasanya bersentuhan dengan diskursus keagamaan. Politisi yang memahami psikologi massa tertentu cenderung memanfaatkan “ayat suci” sebagai wacana yang menyerang lawan politik. Basuki Tahtja Purnama atau Ahok misalnya, salah satu korban politik akibat wacana keagamaan. Anies Baswedan yang tidak lain adalah lawan politik Ahok menyerang Ahok dengan ucapan Ahok sendiri yang dianggap melecehkan agama Islam.


Di Indonesia, saling sikut politis sudah sering terjadi baik di kancah nasional ataupun daerah. Peperangan politis memaksudkan perebutan kekuasaan antara elite politik demi meraup kepercayaan massa. Untuk meraup kepercayaan massa, pertama-tama perlu memahami tendensi psikologis massa. Wacana politik dengan demikian disesuaikan dengan kondisi psikologis massa tertentu. 

Di Indonesia, beberapa tahun terakhir ini, muncul beberapa ORMAS dengan mewakili agama tertentu yang melakukan demonstrasi politis yang disertai aksi baku lempar dengan pihak kepolisian. Massa semacam ini tidak bisa tidak digerakkan oleh aktor intelektual yang punya kepentingan politik tertentu. Politisi yang memanfaatkan massa yang “saleh” ini sering kali memproduksi wacana religius dari “teks suci” untuk menyerang lawan politik.  Dalam hal ini, wacana yang “saleh” mengabdi kepentingan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun