Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyoal Term "Pelacur"

14 Agustus 2020   18:49 Diperbarui: 12 November 2021   12:42 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

 Dalam beberapa film, kehadiran perempuan merupakan bagian dari penokohan lelaki. Dengan demikikan, pemirsa dapat melihat tokoh perempuan sebagai objek erotik-pemandangan yang sesuai dengan keinginan lelaki ketika menikmati sebuah tontonan. Dalam beberapa iklan, perempuan ditampilkan sensual dalam rangka promosi produk tertentu.

Perempuan yang ditampilkan media cenderung sebatas pemuas mata kaum lelaki dan demi kepentingan lelaki. Misalnya iklan yang mengusung tubuh yang langsing. Sebenarnya iklan mau mengatakan bahwa tubuh yang langsing sangat dibutuhkan oleh kaum lelaki.

Apa yang telah dipaparkan di atas setidaknya memberikan pemahaman kepada kita, mengapa term "pelacur" entah dalam teks atau pun dalam konteks orang Indonesia, melulu direduksi pada kaum perempuan. Sebenarnya, bila dibuat perbandingan, jumlah pelacur lebih banyak adalah kaum lelaki ketimbang perempuan. Bayangkan, satu perempuan pekerja seks komersial yang bekerja satu minggu akan melayani lelaki yang berbeda dalam setiap jam. Ada beberapa lelaki yang telah melacurkan diri dengan satu perempuan tersebut? Bukankah kaum lelaki lebih banyak?

Siapakah Pelacur itu?

Berdasarkan apa yang telah diulas sebelumnya, kita dapat membuat definisi yang lebih komprehensif dan adil atas apa yang kita sebut sebagai pelacur. Sebetulnya pelacur sama sekali tidak identik dengan perempuan. Lelaki yang melacurkan diri juga adalah seorang pelacur. Lelaki yang demikian disebut gigolo. Mereka menjajakan dirinya pada para perempuan yang membutuhkan pemuasan seksual. Namun lebih dari itu, "pribadi pelacur" tidak lain ialah siapapun yang melacurkan diri demi kejahatan. 

Dalam artian, siapapun yang "menjual" dirinya, kemampuannya, kelebihannya, popularitasnya, jabatannya, ideologinya, demi kepentingan asusila (amoral), termasuk dalam kategori "pelacur". Seorang ustad yang berkotbah tentang belas kasih, namun mengusung tindakan pembunuhan terhadap yang lain adalah ustad yang "melacur". Seorang pastor yang berkotbah tentang pengampunan, tetapi berselingkuh dengan janda adalah seorang "pelacur" yang sesungguhnya. 

Perlu diketahui bahwa istilah yang merujuk pada tindakan melacurkan diri dalam arti seksual ialah WTS (wanita tunasusila). Kemudian istilah ini diganti dengan istilah PSK (pekerja seks komersial). Istilah PSK tampaknya lebih adil, karena tidak menyertai keterangan jenis kelamin manapun. Memang demikianlah sebenarnya, istilah "pelacur" harus merangkum baik perempuan ataupun kaum lelaki. 

PSK: Profesi atau Libido

Di bagian ini, penulis sama sekali tidak membahas penilaian moral atas tindakan seksual para PSK. Ulasan penulis tidak berdasarkan otoritas ajaran agama manapun. Memang sulit mengambil kesimpulan tanpa terlebih dahulu mengadakan penelitian lapangan yang ketat. Namun, di sini penulis mencoba menganalisa relasi antara para PSK dan penyewa PSK. Biasanya, PSK dibayar oleh pengunjung. Nah, bisa dipastikan bahwa seorang pekerja seks komersial takkan pernah memberikan tubuhnya seandainya pengujung tidak memberikan bayaran yang sesuai. Antara PSK dan pengunjung memiliki kepantingan masing-masing. 

PSK dalam hal ini memiliki kepentingan untuk mendapatkan biaya dari pekerjaanya. Di sisi lain, pengunjung memiliki kepentingan untuk memenuhi impian seksualnya. Dalam konteks ini, penulis membuat kesimpulan bahwa PSK di sini menghadirkan diri sebagai pekerja. Baginya, menjajakan tubuh bagi pengunjung adalah profesi yang mendatangkan uang. Sebaliknya, pengunjung menghadirkan diri sebagai penikmat seks. 

Berdasarkan logika ini, dapat disimpulkan lebih jauh, bahwa keduanya, entah PSK atau pengunjung sama-sama melacurkan diri. Sebab, mereka melakukan hubungan seksual tidak berdasarkan pernikahan. Namun, keduanya memiliki motivasi tindakan yang berbeda. Pelacuran yang dilakukan oleh PSK bisa jadi didorong oleh desakan ekonomi. Baginya, tidak ada pilihan lain selain menjadi PSK. Ia terpaksa menjadi seorang PSK. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun