Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyoal Term "Pelacur"

14 Agustus 2020   18:49 Diperbarui: 12 November 2021   12:42 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Term tertentu sering kali dimengerti secara diskriminatif. Itulah yang terjadi dengan pemahaman atas term "pelacur". Sering kali term ini direduksifasi secara sempit pada kaum perempuan. Ketidakadilan ini dilatarbelakangi oleh budaya, tradisi dan situasi politik yang sedang berkembang di tempat dan zaman tertentu. 

Sebagain besar kebudayaan menghayati tradisi patriarkal, di mana kaum lelaki dianggap "superior" atas kaum perempuan. Istilah "pelacur" sebetulnya merujuk pada siapapun yang melakukan tindakan asusila (amoral), entah lelaki atau perempuan.

Perlu disadari bahwa  term selalu menjelaskan identitas dan kekhasan sesuatu yang lain. Yang lain akan memiliki nama oleh karena dinamai dengan term. Term dengan demikian itu yang identik dengan apa yang dinamai. Term kuda misalnya. Term ini digunakan untuk menamai seekor binatang berkaki empat dan pemakan rumput, katakanlah demikian. Ketika seseorang menyebut "kuda", reaksi spontan otak seseorang langsung merujuk pada binatang berkaki empat dan pemakan rumput tersebut. Term selalu menginformasikan identitas suatu entitas tertentu.

Namun, sering kali pola pikir, tradisi, dan budaya tertentu mengidentifikasi sebuah term sacara sempit dan terbatas. Seorang feminis bernama Gadis Arivia bahkan menandaskan bahwa term-term tertentu sering kali mencerminkan mentalitas menindas dan diskriminatif. Akibatnya, pengguna term memahami dan memaknai term tersebut secara serampangan. Hal ini akan berpotensi destruktif apabila term yang dimaksud hendak menjelaskan hal-hal yang menyentuh langsung perkara kemanusiaan, keadilan dan kebaikan.

Sebut saja, term "kebaikan". Term ini bisa saja direduksi oleh kelompok tertentu secara sempit, sehingga aplikasi atas kebaikan pun cenderung mengorbankan nyawa yang lain. Demikianpun yang terjadi dengan pemahaman atas term "pelacur". Pemahaman atas term ini mengusung sikap diskriminatif dan menindas atas kaum perempuan di Indonesia. 

Istilah "pelacur" sering kali diidentikan begitu saja dengan kaum perempuan. Untuk menganalisis pemahaman masyarakat Indonesia terhadap term "pelacur", penulis pernah membuat sebuah riset sederhana. Riset tersebut dilakukan dengan membuat pertanyaan dan pernyataan kepada beberapa kenalan penulis. Pertanyaannya demikian: "Ketika anda mendengarkan istilah "pelacur", apa yang spontan muncul dalam benak anda?

Penulis menemukan bahwa reaksi spontan beberapa orang yang ditanyai, langsung merujuk pada perempuan yang moralnya tidak baik. Di samping itu, ketika penulis bergurau dengan teman lelaki dengan mengatakan: "Hei pelacur!", ada teman-teman yang menggerutu: "Hei saya bukan perempuan!". 

Analisis sederhana ini setidaknya membuktikan betapa naifnya pemahaman orang Indonesia terhadap term "pelacur". Dianggap aneh bila kita menyebut seorang lalaki sebagai pelacur. Seolah-olah pelacur melulu dan terbatas pada pada kaum perempuan. Term dalam dirinya sendiri sebenarnya tidak bermasalah. Pengguna termlah yang bermasalah. Harus diakui bahwa identifikasi yang demikian picik sangat dipengaruhi oleh budaya dan tradisi kegamaan yang berkembang di Indonesia. 

Pemahaman ini berbanding terbalik dengan fenomena pemerkosaan yang terjadi di tanah air. Hampir pasti, pelaku pemerkosaan adalah kaum lelaki. Kita jarang mendengar berita, di mana seorang perempuan memperkosa lelaki. Kalaupun ada, mungkin prosentasenya tidak mampu mengalahkan jumlah lelaki pemerkosa. Komisaris komnas perempuan, Adriana Venny mengatakan bahwa dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan setiap tahun. Tahun 2017 tercatat 348.446 kasus. Jumlah ini melonjak jauh bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 259.150 kasus. 

Dalam tulisan ini, penulis berusaha menganalisis term "pelacur" dengan tujuan: agar pembaca dapat memahami term ini secara komprehensif dan tidak berat sebelah. Untuk lebih mempertajam penjelasan, penulis juga berusaha mengurai sejarah pelacuran yang kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang pelacuran di Indonesia. Kemudian, penulis menyampaikan alasan reduksi term  "pelacur" yang amat sempit dalam masyarakat Indonesia.

Lalu, selanjutnya diuraikan pula perihal identitas pelacur yang sesungguhnya. Lantaran term "pelacur" cenderung disamakan dengan PSK, maka penulis juga akan memaparkan sedikit informasi tentang siapakah PSK (pekerja seks komersial) itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun