Mohon tunggu...
Vannya Putri Amalia
Vannya Putri Amalia Mohon Tunggu... Mahasiswa Akuntansi/Universitas Negeri Semarang

Hobi melakukan studi kualitatif terhadap perilaku Manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diskriminasi Almamater di Dunia Kerja: Tantangan Bagi Lulusan Non-PTN Favorit

21 Juni 2025   11:21 Diperbarui: 21 Juni 2025   11:21 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di tengah ketatnya persaingan pasar tenaga kerja, lulusan perguruan tinggi di Indonesia dihadapkan pada tantangan yang tak hanya berkaitan dengan kompetensi, tetapi juga identitas almamater. Banyak perusahaan, terutama di sektor swasta dan multinasional, masih menjadikan nama kampus sebagai tolok ukur utama dalam proses seleksi awal. Beberpa perusahaan atau instansi hingga memiliki stigma hanya mau menerima karyawan dari beberapa kampus tertentu dikarenakan kurang adanya diferensiasi pekerja di tempat tersebut. Stigma tersebut juga menimbulkan spekulasi baru bahwa faktor alumni berpengaruh terhadap apakah kita akan diterima di perusahaan tersebut. Hal ini juga tampak jelas dalam iklan-iklan lowongan kerja yang banyak berseliweran di platform rekrutmen populer seperti Jobstreet atau LinkedIn. Frasa seperti “hanya menerima lulusan PTN”, “lulusan 10 besar universitas terbaik”, atau bahkan penyebutan spesifik kampus seperti UI, ITB, dan UGM sudah menjadi hal yang lumrah. Pada 2023, salah satu perusahaan nasional memasang lowongan staf keuangan dengan syarat khusus: hanya terbuka bagi lulusan UI, ITB, atau UGM. Praktik semacam ini secara otomatis menutup peluang bagi ribuan lulusan dari kampus lain, bahkan sebelum mereka punya kesempatan menunjukkan portofolio, keterampilan, atau pengalaman yang mungkin jauh lebih relevan dengan posisi yang dilamar.
Diskriminasi berbasis almamater ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara kesempatan dan potensi. Mereka yang berasal dari institusi non-elit seringkali tersingkir, meskipun secara kapabilitas tidak kalah saing. Pertanyaan penting pun muncul: apakah kualitas seseorang benar-benar bisa ditentukan hanya dari nama kampusnya? Ataukah kita sedang menghadapi pasar kerja yang terjebak dalam penilaian sempit terhadap potensi manusia? Jika sistem rekrutmen terus mengagungkan almamater tanpa melihat kompetensi nyata, maka kita sebenarnya sedang memelihara eksklusivitas yang rapuh dan tidak inklusif yang justru bisa merugikan dunia usaha itu sendiri.
Diskriminasi sistemik terhadap lulusan perguruan tinggi swasta dan kawasan daerah merupakan masalah serius dalam dunia kerja kita. Banyak di antara mereka sebenarnya memiliki kompetensi, pengalaman, bahkan prestasi yang setara atau lebih unggul dibanding lulusan kampus ternama. Namun, stigma terhadap almamater terus menjadi penghalang besar. Sistem rekrutmen yang terlalu mengutamakan nama kampus memperkuat ketimpangan sosial dan ekonomi yang telah ada. Tak sedikit mahasiswa berpotensi tinggi dari keluarga kurang mampu terpaksa mengenyam pendidikan di kampus biasa karena keterbatasan finansial, meski sebenarnya layak bersaing di universitas top. Ketika nama institusi dijadikan filter utama, peluang memperoleh pekerjaan layak tidak lagi ditentukan oleh kemampuan, melainkan oleh privilese ekonomi dan koneksi institusional.
Bagi lulusan kampus daerah atau yang tidak termasuk dalam kategori "favorit", dampaknya sangat nyata. Mereka harus berjuang ekstra keras hanya untuk mendapat panggilan wawancara, sementara kandidat dari kampus ternama kerap langsung dilirik. Tidak jarang, mereka akhirnya terjebak dalam pekerjaan di luar bidangnya, dengan gaji rendah atau karier yang stagnan, semata-mata karena stereotip kampus. Selain menghambat mobilitas sosial, kondisi ini juga berdampak buruk terhadap kepercayaan diri dan motivasi kerja. Jika terus dibiarkan, praktik ini hanya akan memperlebar jurang ketimpangan struktural, menyingkirkan talenta-talenta brilian hanya karena mereka datang dari institusi yang "kurang elite".
Dampak jangka panjangnya adalah inefisiensi pasar tenaga kerja. Perusahaan bisa saja melewatkan kandidat terbaik hanya karena bias institusional dalam proses seleksi. Dibutuhkan upaya sistematis dari semua pihak mulai dari pemerintah, pelaku usaha, hingga masyarakat untuk menciptakan sistem rekrutmen yang lebih adil dan inklusif. Misalnya, menghilangkan kolom nama kampus pada tahap awal seleksi, atau menerapkan sistem uji kompetensi standar yang benar-benar objektif. Langkah ini akan memberikan ruang yang sama bagi semua pencari kerja untuk membuktikan kemampuan mereka tanpa terlebih dulu disaring berdasarkan almamater.
Sudah waktunya dunia kerja Indonesia bertransformasi ke arah yang lebih meritokratis. Menilai seseorang hanya dari nama almamaternya bukan saja tidak adil, tetapi juga merugikan ekosistem kerja itu sendiri. Kompetensi, integritas, dan kemampuan beradaptasi harusnya menjadi tolok ukur utama dalam menilai calon pekerja, bukan reputasi institusinya. Dengan mengedepankan kualitas individu di atas simbol status almamater, kita membuka ruang lebih luas bagi berbagai talenta dari seluruh penjuru negeri untuk tumbuh, bersaing, dan berkontribusi secara maksimal bagi kemajuan bangsa. Ini bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga soal efisiensi, inovasi, dan masa depan Indonesia yang lebih setara.

NAMA ANGGOTA : 

Annisa Nur Aini

Retno Ayu Puspa 

Sekar Kinanti

Muhammad Syukron Maulana HS

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun