Keadilan adalah salah satu nilai dasar yang dijunjung tinggi dalam berbagai budaya dan sistem hukum di dunia. Namun, di Indonesia, keadilan masih menjadi isu yang sangat relevan dan perlu diperjuangkan. Keadilan tidak hanya berarti adanya hukum yang jelas dan tepat, tetapi juga berarti adanya kesetaraan dan keadilan dalam pelaksanaan hukum tersebut.
Kurangnya keadilan di Indonesia dapat dilihat dari berbagai kasus yang terjadi di berbagai wilayah. Salah satu contoh yang paling menarik perhatian adalah kasus-kasus ketidakadilan hukum yang sering menimpa masyarakat. Kasus-kasus seperti penahanan yang tidak berdasar, pengadilan yang tidak adil, dan hukuman yang tidak sesuai dengan perbuatan dapat ditemui di berbagai wilayah di Indonesia. Contoh yang paling jelas adalah kasus Valencya, seorang ibu di Karawang, Jawa Barat, yang ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berupa kekerasan psikis terhadap suaminya. Valencya diduga melakukan kekerasan tersebut karena suaminya yang sering mabuk dan tidak pulang ke rumah selama enam bulan. Rekaman omelan tersebut menunjukkan bahwa kekerasan psikis yang dilakukan Valencya tidak hanya terhadap suami, tetapi juga terhadap dirinya sendiri, yang dapat menimbulkan trauma dan stres yang berkepanjangan[1].
Kurangnya keadilan di Indonesia juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa sistem hukum Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan. Salah satu kelemahan tersebut adalah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap hukum dan peraturan. Masyarakat Indonesia masih memiliki kebiasaan yang kurang baik dalam memahami dan mengikuti peraturan hukum, sehingga dapat menimbulkan konflik dan ketidakadilan dalam pelaksanaan hukum. Contoh yang paling jelas adalah kasus Asyani, seorang tukang pijat yang ditahan di Lapas Situbondo selama tiga bulan sebelum akhirnya dilepas. Asyani mengaku bahwa kayu yang dituduhkan sebagai curian bukan miliknya dan telah ia simpan sejak lama. Namun, Asyani tidak dapat menunjukkan surat keterangan asal usul kayu tersebut, sehingga kronologi pencurian kayu dan identifikasi kayu masih tidak jelas[1].
Kurangnya keadilan di Indonesia juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa keadilan sosial masih belum terwujud secara penuh. Keadilan sosial adalah keadilan yang dianut oleh bangsa Indonesia, yang jelas tercantum dalam Pancasila sila ke-5 serta UUD 1945. Keadilan disini adalah penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya yakni dengan bertindak proporsional dan tidak melanggar hukum. Namun, dalam kenyataannya, keadilan sosial masih belum terwujud secara penuh, terutama dalam pelaksanaan hukum yang tidak adil dan tidak sesuai dengan perbuatan. Contoh yang paling jelas adalah kasus Saulina Sitorus yang berusia 92 tahun yang divonis 1 bulan 14 hari penjara karena menebang pohon durian milik kerabatnya, Japaya Sitorus di Toba Samosir, Sumatera Utara, untuk membangun makam leluhurnya. Enam anak Saulina juga terseret kasus ini dan divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Balige dengan hukuman 4 bulan 10 hari. Vonis ini menarik perhatian karena dalam persidangan, para saksi yang rumahnya berdekatan dengan lokasi tidak pernah melihat Japaya menanam pohon durian yang diperkarakan. Upaya damai pernah ditempuh sebelumnya, tetapi tidak berhasil[1].
Kurangnya keadilan di Indonesia juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa keadilan mempunyai bobot yang lebih berat dibandingkan dengan kemakmuran dan sentosa. Keadilan tidak dapat dipisahkan dari kewajiban. Keadilan juga tidak bersifat sektoral tetapi meliputi ideologi, IPOLEKSOSBUDHANKAM untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Keadilan mempunyai bobot yang lebih berat dibandingkan dengan kemakmuran dan sentosa, karena rakyat bisa tahan dengan ketidakmakmuran tetapi tidak akan bisa tahan dengan ketidakadilan. Sehingga, jika keadilan sudah ditegakkan maka kemakmuran tinggal menunggu waktu saja, tetapi jika kemakmuran yang didahulukan, belum tentu keadilan akan terwujud[4].
Dalam penutup, kurangnya keadilan di Indonesia menjadi isu yang sangat relevan dan perlu diperjuangkan. Keadilan tidak hanya berarti adanya hukum yang jelas dan tepat, tetapi juga berarti adanya kesetaraan dan keadilan dalam pelaksanaan hukum tersebut. Untuk mencapai keadilan yang lebih baik, perlu adanya kesadaran masyarakat terhadap hukum dan peraturan, serta perjuangan yang lebih keras dari penegak hukum dan masyarakat untuk mewujudkan keadilan yang lebih adil dan sesuai dengan perbuatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H