Mohon tunggu...
Van Nder
Van Nder Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa pendidikan sejarah di salah satu universitas ternama di kota Malang. Memiliki minat besar dalam bidang sejarah, politik dan budaya. Tercatat aktif dalam kegiatan organisasi mahasiswa baik intra dan ekstra kampus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Situs Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto

2 Desember 2012   06:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:19 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pelestarian Benda Cagar Budaya:

Refleksi Pemugaran Dan Pelestarian

Situs Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto

Tahun 1983-1995

Fandi Rahman

Abstract: The activity that head to protect cultural preserve is a kind of activity to protect and conserve the cultural preserve and the benefit will be aim to improve the cultur nation that is nation cultur.

Key Words: Site, Conservation, Object of cultuural

Sejak awal kita telah mempelajari bahwa kebudayaan dan masyarakat pendukungnya merupakan paduan yang tak terpisahkan. Tak mungkin yang satu dengan yang lain berdiri sendiri (Soekmono, 1973:124). Sejarah tidak selalu identik dengan peristiwa-peristiwa penting atau tokoh-tokoh besar di masa lampau, namun terkait dengan produk budaya material.

Menurut Soekmono pengertian dari pelestarian Benda Cagar Budaya adalah 1) mencegah secara fisis tentang kerusakan atau pemusnahan Benda Cagar Budaya serta mengupayakan agar Benda Cagar Budaya tetap eksis dari bahaya kepunahan, dan 2) mempertahankan serta mengupayakan agar nilai-nilai budaya positif yang terkandung didalamnya dapat berkembang bahkan diwariskan secara terus menerus dalam rangka memperkuat jati diri bangsa (Suprapta, 1996:86).

Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya pasal 15 menjelaskan mengenai larangan merusak Benda Cagar Budaya (BCB) dan situs serta lingkungannya yaitu merubah bentuk dan warna, memisahkan dari satu kesatuannya, membawa atau memindah dari tempat asalnya, dan memperjual-belikan secara ilegal. Hal itu merupakan pengertian dari vandalisme BCB yang menjadi sebab utama kerusakan atau musnahnya BCB. Vandalisme menunjukkan betapa rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap peninggalan BCB.

Masalah utama dalam upaya pelestarian BCB adalah bersifat teknik arkeologis. Pelestarian Benda Cagar Budaya harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Ilmu Arkeologi yaitu pemugaran yang merupakan perbaikan dan pemulihan kembali tanpa merubah bentuk dan bahan aslinya. Pemugaran meskipun sudah sesuai dengan bentuk aslinya, namun tetap saja terdapat beberapa masalah yang terjadi karena tidak semua bahan aslinya dalam keadaan utuh ataupun dapat ditemukan kembali. Faktor ini jelas merupakan sebuah hambatan dalam kaitannya dengan pelestarian BCB. Namun, perlu diingat bahwa sesungguhnya pemugaran itu berhubungan dengan upaya untuk menyelamatkan serta melestarikan apa yang masih tersisa dari suatu bangunan BCB (Suprapta, 1996:87).

Pemugaran bukan akhir dari upaya penyelamatan dan pelestarian BCB. Setelah pemugaran selesai maka akan dilanjutkan dengan pemeliharaan pascapemugaran, pemugaran bertujuan untuk merawat dan menjaga peninggalan BCB yang telah selesai dipugar agar tidak mengalami kerusakan lagi. Namun, jika melihat secara langsung apa yang terjadi saat ini sungguh ironis sekali sebab meskipun perawatan rutin telah dilakukan tetapi pada beberapa bagian terlihat kerusakan baru atau pada bagian lama yang rusak kemudian diperbaiki mengalami kerusakan lagi.

Masalah seperti ini terjadi karena beberapa sebab seperti keterbatasan sarana dan prasarana untuk perawatan akibat minimnya anggaran dari pemerintah dan juga standarisasi dari seorang juru rawat. Yang tak kalah penting adalah kurangnya kesadaran masyarakat dalam upaya menjaga dan melestarikan BCB, sehingga hal seperti ini patut mendapat perhatian lebih lanjut. Bahkan perlu dipupuk pula kesadaran rumangsa andharbeni (rasa memiliki) yang tinggi dari masyarakat (Sujud, 2005:100).

Program Kerja Pemugaran Situs Bekas Kota Majapahit di Trowulan

Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 32 yang intinya adalah “Pemerintah Memajukan Kebudayaan Nasional”, maka Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur mulai melaksanakan pemugaran Situs Bekas Kota Majapahit di Trowulan. Sebagai usaha untuk melindungi dan melestarikan Benda Cagar Budaya tersebut dari kerusakan atau kemusnahan diadakannya penggalian serta pemugaran situs.

Situs Trowulan merupakan situs ibukota kerajaan Majapahit, di situs ini terdapat banyak sekali peninggalan-peninggalan Benda Cagar Budaya. Pelaksanaan pemugaran selama kurang lebih dua belas tahun dan dari enam belas situs telah selesai dipugar secara penuh lima situs, situs tersebut adalah situs Kolam Segaran(1983/1984), situs Candi Tikus(1983/1985 sampai 1988/1989), situs Gapura Bajang Ratu(1985/1986 sampai 1991/1992), situs Candi Brahu(1990/1991 sampai 1994/1995), dan situs Gapura Wringin Lawang(1991/1992 sampai 1994/1995). Kelima situs tersebut mulai dilakukan pemugaran mulai tahun anggaran 1983/1984 sampai 1994/1995 yang dimulai dengan perencanaan, pembebasan tanah, penanganan konservasi, dan pemeliharaan pasca konservasi.

Kegiatan pemugaran yang telah dilakukan sejak tahun anggaran 1974/1975, untuk mengatasi segala bentuk permasalahan kondisi keterawatan bahan bangunan yang digunakan secara sinkronik dilakukan penanganan konservasi. Seperti yang diketahui bahwa dengan diupayakan penanganan konservasi tidak berarti menghentikan secara total proses pelapukan yang terjadi, melainkan hanya bersifat menghambat. Sehingga upaya pemeliharaan secara rutin perlu dilakukan.

Pemugaran Situs Bekas Kota Majapahit di Trowulan

Sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi pada umumnya, maka sasaran kegiatan konservasi menyangkut beberapa aspek yang meliputi yaitu:

1.Perencanaan

2.Pembebasan lahan

3.Penanganan konservasi

4.Pemeliharaan pascakonservasi

Guna mendapatkan gambaran yang secara jelas mengenai upaya konservasi berikut ini adalah paparan data lengkap dari hasil kegiatan konservasi yaitu:

1.Perencanaan

Perencanaan dilakukan secara sistematis dan terintegrasi yang tertuang dalam bentuk “Rencana Induk Arkeologi Bekas Kota Kerajaan Majapahit” yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan tahun 1985. Secara garis besar perencanaan tersebut meliputi: deskripsi latar belakang, sosial-ekonomi dan budaya, kondisi geotopografis, konsep dan metode penataan situs dan bangunan, rencana penanganan bangunan dan penataan situs serta rencana jaringan jalan wisata budaya. Inti dari kegiatan ini adalah pemugaran dan konservasi yang dilakukan secara sinkronik.

Masing-masing bangunan telah dilakukan studi teknis yang dilakukan secara terperinci yang kemudian digunakan sebagai acuan dasar dalam pelaksanaan kegiatan pemugaran dan konservasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perencanaan dalam rangka pelestarian dan perlindungan secara mendasar telah dilakukan secara tepat waktu dan tepat guna.


  1. Pembebasan lahan

Pembebasan lahan beserta ganti rugi tanah dan bangunan, dimaksudkan karena disekitar candi diduga masih terdapat Benda Cagar Budaya lain yang masih terkubur atau masih tedapat bangunan lain yang merupakan satu kesatuan dari bangunan yang pertama ditemukan. Selain itu juga tujuan lain dilakukannya pembebasan lahan tersebut adalah untuk menentukan batas-batas lindung Benda Cagar Budaya sebagai usaha pelestariannya. Batas-batas tersebut adalah:

1.zona inti adalah zona cagar budaya atau situs

2.zona penyangga adalah zona disekitar cagar budaya atau situs yang berfungsi sebagai penyangga bagi pengembangan sekitar cagar budaya atau situs

3.zona pengembangan adalah zona yang dapat digunakan untuk dikembangkan untuk kepentingan sosial budaya sesuai prinsip pelestarian Benda Cagar Budaya.

Dengan demikian maka pelestarian dan perlindungan benda cagar budaya dapat berjalan dengan baik. Namun pada kenyataannya, ironis sekali karena berlangsungnya perluasan areal pemukiman serta pembuat batu bata liar yang tersebar di beberapa titik, tercatat sampai sekarang terdapat ± 4000 titik pembuat batu batu yang tersebar merata di tempat yang diduga mengandung tinggalan arkeologis.

3.Penanganan konservasi

Penanganan konservasi banyak macamnya yang didasarkan pada kondisi dan situasi pada masing-masing obyek dan kemampuan atau fasilitas. Kerusakan Benda Cagar Budaya berdasarkan sifatnya yaitu mekanis, khemis, dan biologis (Suyono, 1979:13). Berikut ini adalah penanganan yang dilakukan terhadap situs Bekas Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan:

a.Pembersihan

Bahan bangunan yang digunakan di situs Bekas Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan adalah batu bata yang sangat rentan sekali mengalami kerusakan. Perubahan lingkungan dan pertumbuh mikroba seperti jamur dan lumut akibat kondisi yang lembab akan mempercepat proses pelapukan. Pembersihan bertujuan untuk pemberantasan/penghambatan pertumbuhan mikroba, tanpa menimbulkan dampak negatif baik terhadap bahan bangunan yang digunakan maupun lingkungan sekitarnya. Pemberantasan atau penghambatan mikroba menggunakan Herbisida Hyvar X atau Hyvar XL yang disemprotkan pada batu bata.

b.Perbaikan

Teknis perbaikan meliputi penyambungan dan injeksi retakan yang ada akibat berbagai sebab. Hal ini wajar mengingat batu bata rentan sekali mengalami kerusakan. Tujuan utama dilakukan pembersihan adalah untuk mengembalikan kepada keadaan semula atau asli tanpa ada pemalsuan dan diusahakan tidak mengurangi nilainya.

Dalam menutupi hasil injeksi atau penyambungan dilakukan semacam kamuflase daerah sambungan batu bata yang patah atau retak dengan bahan mortar epoxy resi dan bubukan bata. Akan tetapi kamuflase yang dilakukan terhadap daerah yang dipatah atau retak tersebut mengalami perubahan warna atau diskolorisasi.

c.Penggantian komponan bahan bangunan

Batu bata atau bahan bangunan lainnya yang sudah tidak ada atau secara teknis tidak bisa digunakan lagi karena telah rapuh maka diganti dengan bahan baru berdasarkan hasil rekontruksi arkeologi(system anatilose). Kualitas batu bata pengganti pada Candi Tikus kurang baik sedangkan untuk candi-candi lainnya relatif cukup baik. Selain karena tekstur bahan tidak homogen, kualitas pembakaran juga kurang baik. Pada umumnya batu bata yang digunakan banyak tercampur dengan fragmen gerabah kuno. Hal ini wajar karena sebagian besar batu bata yang digunakan berasal dari pembuat batu bata disekitar situs Trowulan.

d.Pengunaan lapisan kedap air

Untuk kepentingan pelapisan kedap air digunakan bahan Araldite Tar Tipe XH 351 yang terdiri atas dua komponen yaitu resin dan hardener. Penggunaan jenis bahan ini dimaksudkan untuk menanggulangi masalah kapilarisasi air. Metode ini diterapkan pada masing-masing candi yang dipugar, kecuali Kolam Segaran. Karena metode ini dilakukan secara parsial maka aplikasi bahan hanya dilakukan secara selektif saja yaitu sebagian tepi bangunan yang dibongkar. Hasil observasi menunjukan bahwa hasilnya masih cukup efektif.

e.Penggunaan bahan penolak air

Penggunaan bahan penolak air bertujuan untuk menjaga agar tidak terjadi pertumbuhan mikroba setelah dilakukan pembersihan. Hal ini dikarenakan batu bata mudah menmyerap air dan lama mengering sehingga kondisinya menjadi lembab. Bahan yang digunakan adalah silicosol yang dioleskan pada seluruh permukaan batu bata. Untuk menilai efektifitas bahan yang digunakan ditempuh tiga cara yaitu atas dasar kandungan air pada permukaan bata dengan alat Protimeter, beading test, dan pengamatan secara langsung dalam kaitannya dengan pertumbuhan mikroba.

Berdasarkan hasil pengamatan setelah dilakukan pelapisan silicosol pada batu bata menunjukkan kandungan air secara langsung pada permukaan bata dapat dikatakan kondisinya relatif kering dengan kandungan air maksimum 15 pada skala Protimeter (SP) dan hasil pengujian beading test yang dilakukan secara random pada umumnya menunjukkan hasil efektif.

Pengecualian untuk Kolam Segaran dan Candi Tikus, Kolam Segaran pada saat pemugarannya belum menggunakan sistem kedap air dan penolak air sehingga populasi pertumbuhan mikroba khususnya gulma air cukup besar. Pada candi tikus ternyata sudah tidak efektif lagi hal ini terjadi karena dosis dan penggunaan yang tidak sesuai, sebagian besar pelapisannya tidak merata dan itupun juga hanya pada satu sisi saja. Akibatnya pada sisi yang tidak terlapisi akan melapuk perlahan dengan cara mengelupas.

f.Sistem finishing rekonstruksi bata

Sesuai dengan kesepakatan arkeologis penyelesaian bata baru pengganti bata yang telah rusak adalah menggunakan pola acak. Hanya saja perlu pertimbangan lagi dari aspek arkeologisnya mengingat untuk bidang-bidang panjang penerapan pola acak tersebut ternyata menjadi tidak acak lagi tetapi berubah menjadi keteraturan. Namun yang patut diperhatikan adalah pembedaan antara batu bata pengganti dengan batu bata aslinya.

Data Penanganan Bangunan*

Nama Bangunan

STD

PEMB

PERB

KONS

KDA

PENG

PNA

Candi Tikus

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun