Mohon tunggu...
Valentino Ega pratama
Valentino Ega pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa

Memancing

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kecanduan Bermain Handphone Menurut Psikologi

22 Juni 2025   15:59 Diperbarui: 22 Juni 2025   15:59 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh : anak yang terlalu lama bermain Handphone (Sumber : Ai) 

Di sudut ruang keluarga, seorang anak duduk terpaku dengan handphone di tangan. Jemarinya lincah menyentuh layar, matanya nyaris tak berkedip, dan ketika dipanggil orang tuanya, hanya gumaman singkat yang keluar. Situasi seperti ini kini menjadi pemandangan umum di banyak rumah tangga. Tanpa kita sadari, dunia digital telah menciptakan generasi yang sangat bergantung pada layar dan salah satu dampak paling seriusnya adalah kecanduan bermain handphone.

Dalam kajian psikologi, kecanduan gawai, termasuk handphone, masuk dalam kategori kecanduan non-substansi (non-substance addiction) atau yang juga dikenal sebagai behavioral addiction. Berbeda dengan kecanduan zat seperti alkohol atau narkoba, kecanduan ini tidak melibatkan konsumsi zat kimia, namun tetap menghasilkan dampak serupa pada otak dan perilaku.

Secara neurologis, setiap kali anak bermain game atau menerima notifikasi di media sosial, otaknya melepaskan dopamin hormon yang memberikan rasa senang dan kepuasan. Hal ini menciptakan siklus pengulangan: semakin sering dilakukan, semakin besar kebutuhan untuk mengulangi aktivitas tersebut demi mendapatkan rasa senang yang sama. Inilah yang kemudian membuat anak sulit melepaskan diri dari handphone. Mereka bukan sekadar suka mereka merasa harus menggunakannya.

Namun, di balik layar yang tampak menyenangkan itu, ada konsekuensi serius. Kecanduan handphone pada anak dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka. Dalam jangka panjang, muncul gangguan pada pola tidur, berkurangnya kemampuan konsentrasi, menurunnya prestasi akademik, serta meningkatnya kecemasan dan iritabilitas. Anak-anak yang terlalu banyak terpapar dunia digital cenderung menarik diri dari interaksi sosial nyata dan menunjukkan gejala stres ketika harus berjauhan dari perangkat mereka.

Fenomena ini juga bisa dijelaskan melalui teori belajar dalam psikologi, terutama prinsip penguatan (reinforcement). Ketika suatu aktivitas memberi imbalan positif secara cepat seperti pujian di media sosial, naik level dalam game, atau animasi menyenangkan anak akan terdorong untuk mengulanginya. Inilah mengapa gawai sangat efektif "menjebak" perhatian anak, terlebih bila tidak ada batasan yang tegas dari lingkungan.

Selain faktor biologis dan perilaku, lingkungan keluarga dan pola asuh juga berperan besar. Dalam banyak kasus, handphone menjadi "pengasuh digital" yang digunakan untuk menenangkan anak, mengalihkan perhatian mereka, atau bahkan sebagai bentuk hadiah. Sayangnya, ketika ini dilakukan terus-menerus tanpa kontrol, anak belajar bahwa ketergantungan pada gawai adalah hal yang normal.

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Solusinya bukan dengan serta-merta melarang anak menggunakan handphone, karena teknologi kini adalah bagian dari kehidupan. Yang dibutuhkan adalah pendampingan psikologis dan pendidikan digital yang sehat. Anak perlu diajak berdialog, diberi pengertian tentang waktu layar yang wajar, dan diajak menemukan alternatif aktivitas yang tak kalah menyenangkan bermain di luar, membaca buku, berdiskusi, atau berkegiatan seni.

Kita, sebagai orang tua, pendidik, dan masyarakat, juga perlu introspeksi. Apakah kita sudah menjadi contoh yang baik dalam menggunakan teknologi? Apakah kita hadir secara emosional, atau justru lebih sibuk dengan layar kita sendiri?

Kecanduan handphone bukan hanya soal teknologi, tapi soal bagaimana kita sebagai manusia merespons perubahan zaman. Anak-anak butuh lebih dari sekadar hiburan. Mereka butuh perhatian, keterlibatan, dan ruang untuk tumbuh secara utuh bukan hanya sebagai pengguna teknologi, tapi sebagai manusia yang sehat secara psikologis, sosial, dan emosional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun