Oleh: Uswatun Hasanah
 Menurut teori Piaget, pengetahuan anak dapat dibangun dan dikembangkan melalui kegiatan bermain. Perlu diketahui bahwa pada saat anak bermain dan menemukan hal baru, serta dengan teori kognitif Piaget ini menegaskan bahwa fungsi bermain lebih difokuskan pada pempraktikkan dan memperkuat keterampilannya yang baru. Piaget sendiri menelaah tahap perkembangan dengan bermain. Terdapat empat tahapan bermain menurut Piaget, yaitu 1) Permainan sensori motorik ( bln-2 tahun), dalam tahapan ini anak menikmati kegiatan bermain melewati sensor otot yang ada pada tubuh seseorang terutama panca indera, misalnya anak suka memasukkan benda ke dalam mulutnya. 2) Permainan simbolik (2-7 tahun), tahapan ini adalah masa pra operasional dimana anak masuk dalam masa bermain pura-pura.Â
Disini anak telah memakai bermacam simbol dari benda-benda, misalnya ember sebagai drum, kursi sebagai mobil-mobilan. 3) Permainan sosial yang mempunyai aturan (8-11 tahun), dalam tahapan ini anak mulai suka bermain dengan teman sebayanya. 4) Permainan yang mempunyai aturan dan olahraga (11 tahun ke atas), dalam tahapan ini anak telah memasuki masa operasional dan anak dapat berpikir abstrak. Dengan ini anak bermain dengan aturan yang lebih ketat, misalnya bermain kasti.
Dalam pandangan Vygotsky, Erikson dan Piaget, yang dimaksud dengan inti dari permainan adalah aktivitas bermain untuk anak merupakan suatu hal yang sangat penting untuk perkembangannya. Dalam bermain anak mempunyai kesempatan dalam mengekspresikan apa yang sedang dirasakan dan dipikirkan. Dengan bermain, dapat dikatakan anak itu sedang menerapkan keterampilan, serta anak juga merasa puas dapat bermain, yang artinya bermain disini mengembangkan diri anak.Â
Dalam bermain, sebuah perkembangan, pengetahuan, dan kemampuan dapat diperoleh anak dari permainan, sebab saat anak bermain bukan hanya kebutuhannya saja yang terpenuhi, namun juga bermain dapat mengajarkan anak untuk belajar suatu hal yang baru, melatih motorik, kognitif, afeksi, kerjasama, kreativitas, pengembangan bahasa, sosial, dan pengembangan emosionalnya, sehingga terjadi suatu proses pembelajaran di dalamnya ketika anak sedang bermain.
Dari hasil observasi yang dilakukan oleh Aida & Rini (2014), di TK Permata Kecamatan Rungkut Surabaya, menemukan bahwa rata-rata kemampuan sosialisasi anak sangat rendah dilihat dari belum adanya kemandirian anak saat kegiatan, belum memiliki antusias dalam bermain, belum mau membantu dan berbagi pada teman, belum mampu mengendalikan perasaan, belum mampu bekerjasama, belum mampu menghargai orang lain, dan rasa percaya diri yang belum bisa ditunjukkan akan mempengaruhi perkembangan sosial anak.
Faktor penyebab rendahnya kemampuan bersosialisasi pada anak diantaranya, yaitu kurang bervariasinya pembelajaran, tahap simbolik anak yang belum terstimulasi secara optimal dan belum berkembang, bersifat egosentris (rebutan mainan), dan keinginan mendapat perhatian untuk diri sendiri.Â
Dampaknya dari hal tersebut adalah anak menjadi kurang mandiri, bergantung pada orang tua, kurang percaya diri, kurang mampu untuk bermain dan bersosialisasi dengan teman sebaya atau lingkungan sekitarnya, pemalu, dan memiliki ego yang tinggi.Â
Solusi pemecahan yang dapat dilakukan dapat dengan melakukan persiapan yang dilakukan oleh tenaga pendidik, kecakapan dalam menggunakan metode bermain. Selain itu, metode bermain peran dapat dilakukan untuk peningkatan sosialisasi anak. Oleh karena itu, kegiatan bermain sangat penting dilakukan pada masa kanak-kanak, selain bermain itu dapat meningkatkan kemampuan bersosialisasi anak, dalam bermain secara kelompok anak juga diajarkan untuk bekerjasama dan suatu kegiatan belajar yang dikemas dalam bermain akan lebih menarik perhatian pada anak.