Sekitar tahun 1998 menjelang ORBA Bubar beredar puisi kritis tulisan Wiji Tukul yang bikin telinga penguasa memerah.
Salah satu penggalan kalimat dari puisi Wiji Tukul yang hingga kini selalu diingat adalah : Hanya satu kata "lawan",jelas kalimat tersebut ditujukan pada siapa??setiap orang sudah bisa memahaminya.
Puisi Wiji Tukul yang mengkritisi penguasa ORBA saat itu semangatnya mirip dengan puisi Fadli Zon yang juga sangat kritis terhadap penguasa Orde Reformasi saat ini,dimana dengan terus terang Fadli Zon mengakuinya.
Tentunya yang dimaksud "penguasa"itu siapa bisa saja ditafsirkan beragam ,bisa RT,RW,Desa,Kecamatan,Kabupaten/Kota,Propinsi,Pusat ataupun penguasa ditingkat  Global ataupun penguasa bayangan/Deep State dsb.
Yang membedakan antara Wiji Tukul dengan Fadli Zon adalah:Situasinya beda,konteksnya beda,iklimnya juga beda sehingga akibat yang ditimbulkannya juga beda.
Wiji Tukul harus "kucing kucingan"dengan aparat,bahkan merasa selalu dibayang bayangi aparat sehingga sampai saat ini Wiji Tukul tidak diketahui dimana rimbanya.
Sementara Fadli Zon bisa tidur nyenyak tanpa merasa takut dihantui oknum aparat.
Lepas dari itu semua,munculnya Fadli Zon sebagai penanda jaman lewat puisi kritisnya perlu diapresiasi positif sebagai "ruang" untuk mengutarakan suasana kebatinan dalam menanggapi situasi yang ada.
Puisi sebagai pendapat pribadi tidak perlu disikapi secara berlebihan,bila tidak setuju dengan puisi tersebut bikin saja puisi tandingan atau tidak usah dibaca.