(Catatan permenungan menjelang Subuh tiba)
Oleh Usman D. Ganggang*)
Ebiet Gafar Ade, musisi handal itu, Â dengan puitis mengajak kita untuk memahami hidup seutuhnya: / /Perjalanan ini,/terasa sangat menyedihkan/ sayang engkau tak duduk di sampingku kawan/ banyak cerita yang mestinya kau saksikan/di tanah kering bebatuan/ /......//dst.
Iya, begitu unik ini hidup, hingga akhirnya dia berdendang dalam kabar:/Coba kita bertanya kepada rumput yang bergoyang//.Apa maksudnya? Paling kurang menyadarkan kita untuk memahami tujuan hidup ini dan untuk menjawabnya, coba kita melihatnya pada  peristiwa di sekitar kita:
 /Tubuhku bergoncang dihempas bebatuan di perjalanan.../Mengapa di tanahku  terjadi bencana/Alam enggan bersahabat dengan kita/ Bapa ibunya telah lama mati, ditelan bencana tanah ini/ /.Â
Mari kita memaknai perjalanan ini, sekaligus bagaimana sikap kita setelah diperoleh hasil amanatan kita. Setujukah kita dengan perang wacana dengan memanfaatkan senjata olok-olok? Terenyuhkah kita melihat hutan di Riau atau Kalimantan yang kini jadi berita heboh? Dan sejumkah berita-berita lain membuat kita miris. Iya, sekurangnya menjadi musafir "KEONG", (lamban tapi pasti) yang meninggalkan tetesan-tetesan kesejukan dan cinta di dalam hati antarmanusia. Ujung dari introspeksi ini, , kita harus berubah, sepeti kata bijak leluhur,"Ubahlah cara berpikir kita, maka dunia kita berubah".
Penulis teringat , sepuluh tahun yang lalu, saya mencegat seorang anak muda, Antoni namanya. Oleh teman-teman-temannya, menyapanya dengan "musafir keong".Menyimak sapaan itu, saya sampai manggut-manggut," Apa-apaan ini?" gerutuku. Ia pasang senyum pada bibirnya. Maklumlah, di samping dia seorang guru muda lagi-lagi guru agama, juga dia seorang guru bahasa Jerman di sebuah lembaga pendidikan swasta. Iya, dia juga ternyata seorang penulis muda yang karya-karyanya tidak bisa dianggap enteng.
Ada beberapa pernyataannya yang menggugat nuraniku. "manusia di dalam kehidupan ini, harus berbuat sesuatu kepada sesamanya. Walau sekecil sekali pun. Ingat, the man for others", uraianya mantap sembari menambahkan," Sebab di situlah terletak arti hidup itu sejatinya. Selain itu, "Seringlah membaca tanda-tanda zaman", pesannya. Pesan-pesan ini bermanfaat, dan sambil merenung sekian pesan itu, penulis teringat premis Prof.Anhar Gonggong  saat adakan seminar Nasional di Kota Kesultanan Bima beberapa tahun silam,"Setiap zaman, ada orangnya dan setiap orang ada zamannya". Apa maksud semua pernyataan ini, mari kita renungkan!
"Kepada anak muda tadi, penulis angkat jempol sekaligus, memujinya," Anda hebat!" pujiku.
"Ah, ada-ada saja Anda ini . Bukankah Anda yang sering bergumul dengan ke(hidup)an ini, sampai-sampai orang besar tumbang lantaran pena Anda?" komentarnya.
"Ya, soal itu, tidak selamanya dari pena", gugatku. Bahwa hidup ibarat roda pedati, ya harus diakui. Tapi jelas ada perbedaaannya. Manusia lain. Roda pedati pun lain. Tentu yang perlu diambil adalah hikmah dari ungkapan tentang ke(hidup)an.Seperti kawan saya ini sering mengatakan," Leben ist eine frage". Artinya, hidup adalah suatu tanda tanya. Jelasnya, meminta dari manusia agar hidup itu tetap diperbaharui menurut tantangan zaman.