Pertama, sasaran penerima MBG harus benar-benar diarahkan pada sekolah-sekolah di daerah dengan status ekonomi minus, atau keluarga yang terbukti membutuhkan. Menggeneralisasi semua sekolah sebagai penerima manfaat berisiko pada pemborosan anggaran dan menurunkan daya guna program. Seharusnya, fokus pada kantong kemiskinan dan kawasan dengan tingkat ketahanan pangan rendah. Sehingga akan jauh lebih efektif dalam memperbaiki derajat kesehatan anak-anak yang rentan stunting dan gizi buruk, serta memungkinkan anggaran negara digunakan secara optimal.
Sebagai contoh di Jawa Barat, kalua didasarkan pada persentase penduduk miskin menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, berikut beberapa daerah yang dikatagorikan tinggin angka kemiskinannya, Indramayu (11,93%), Kuningan (11,88%), Kota Tasikmalaya (11,10%), Majalengka (10,82%), Bandung Barat (10,49%), Kabupaten Tasikmalaya (10,23%), dan Cianjur (10,14%).
Sebaiknya daerah-daerah tersebut yang prioritaskan untuk program MBG. Sehingga akan lebih optimal dalam mencapai tujuan program, membantu menurunkan stunting dan memastikan intervensi gizi tepat sasaran pada kelompok paling rentan. Juga akan lebih efektif dalam penggunaan dana APBN.
Kedua, skema pengadaan makanan harus dikembalikan ke dapur sekolah berbasis komunitas, bukan mengandalkan dapur-dapur besar yang melayani ribuan porsi untuk berbagai kecamatan secara serentak. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa makanan yang didistribusi dari jarak jauh sangat rentan basi, kehilangan kualitas gizi, dan sulit diawasi dengan baik.
Pelaksanaan masak di dapur sekolah juga memudahkan kontrol kualitas secara lebih langsung, memberdayakan ibu kantin, orang tua, serta masyarakat lokal sehingga menambah manfaat ekonomi dan sosial. Bahkan pelatihan gizi kepada petugas dapur sekolah cenderung lebih mudah dan berkelanjutan ketimbang mengandalkan vendor skala besar yang fokus pada efisiensi kuantitas semata.
Saat ini sudah ada beberapa sekolah yang menyediakan dapur untuk keperluan makan siang siswanya, misalnya SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Solo. Sekolah ini memiliki dapur sehat di lingkungan sekolah yang setiap hari menyiapkan makan siang segar untuk ratusan murid. Menu yang disajikan disiapkan langsung oleh juru masak sekolah dan tersedia secara prasmanan bagi murid. (sumber: https://www.detik.com/jateng/berita/d-8135560/harga-rp-10-ribu-ini-penampakan-menu-dapur-sehat-sd-di-solo-yang-tolak-mbg)
Dengan dua langkah strategis ini, dampak negatif ke depannya bisa diminimalisir. Tidak hanya risiko keracunan dan pemborosan anggaran bisa ditekan, kualitas gizi serta rasa aman bagi keluarga penerima manfaat dapat semakin terjamin. Pada akhirnya, keberanian pemerintah mengakui masalah dan mengevaluasi skema pelaksanaan program akan jauh lebih mulia daripada sekadar membela diri tanpa perubahan berarti. Generasi sehat membutuhkan kebijakan yang adaptif, transparan, dan benar-benar berpihak pada rakyat kecil.
Setiap kebijakan publik harus dievaluasi dari dampaknya di lapangan, bukan sekadar ambisi di atas kertas. MBG yang tepat sasaran dan skema dapur berbasis sekolah adalah ikhtiar nyata untuk memaksimalkan manfaat, memberantas stunting, dan memastikan setiap rupiah anggaran negara jatuh pada penerima yang paling berhak dan aman.
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kasus_keracunan_massal_program_Makan_Bergizi_Gratis