Menteri Keuangan RI Purbaya Yudhi Sadewa memutuskan menarik Rp200 triliun dari kas negara yang selama ini mengendap di Bank Indonesia (BI), yang akan digelontorkan ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan Bank Syariah Indonesia (BSI).Â
Lihat juga: Peran Muhammadiyah Bagi Perbankan Syariah Nasional dan Dampaknya pada BSI
Langkah ini dimaksudkan untuk meredakan krisis likuiditas, menurunkan biaya dana, dan mendorong kredit produktif ke sektor riil.
Namun, keputusan ini justru membuka perdebatan serius tentang kondisi fiskal dan moneter Indonesia, serta kesiapan perbankan, khususnya Himbara, dalam menjalankan mandat besar tersebut.
Dampak Ekonomi Makro dan Mikro
Di tingkat makro, Rp200 triliun tersebut berpotensi meningkatkan permintaan agregat, mendorong konsumsi rumah tangga, dan memicu investasi UMKM serta sektor koperasi desa.
Likuiditas tambahan juga bisa menurunkan perang bunga antar bank, menekan suku bunga pinjaman, dan pada gilirannya memperbaiki iklim usaha.
Namun, injeksi likuiditas berskala besar juga rawan menciptakan tekanan inflasi jika tidak diimbangi peningkatan produksi.Â
Lebih jauh, aliran dana yang tidak tepat sasaran bisa berakhir kembali ke instrumen aman seperti Surat Berharga Negara (SBN) atau Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yang artinya efek pengganda ke sektor riil minim.
Bagi pelaku mikro, UMKM, dan koperasi, peluang ini berarti akses modal lebih murah.Â
Tapi bagi Himbara, ini ujian: apakah mereka mampu benar-benar menyalurkan dana ke sektor produktif yang sering dianggap berisiko tinggi, atau sekadar menambal likuiditas jangka pendek.