Oleh: Hanah Nuraenah (peduli bangsa, Yogyakarta)
Mengingat sebuah pernyataan dari Khursid Ahmad salah satu pendiri the islamic Foundationn di Leceister, Inggris. Dia mengatakan: "All of the problem that confront the Muslim world today the educational problem is the most challenging. The future of the Muslim world will depend upon the way it responds to this challenge".
Artinya: Dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan terhadap dunia Islam dewasa ini, maka masalah pendidikan merupakan masalah yang paling menantang. Masa depan dunia Islam tergantung kepada cara dunia Islam menjawab dan memecahkan tantangan ini.
Bisa kita simpulkan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia, masyarakat, maupun bangsa, maka pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara sistematis dan visioner.Â
Dan perlu kita ketahui bersama bahwa di jaman globalisasi ini, kita tidak hanya dituntut untuk mempelajari pendidikan yang bersifat ukhrawi melainkan juga duniawi. Karena kita tidak hidup sendirian tapi bermasyarakat, kita tidak hidup di Negara yang hanya satu-satunya di dunia, melainkan bertetangga. Dan dalam bertetangga pasti ada hubungan, dalam hubungan pasti ada komunikasi dan dalam komunikasi pasti ada bahasa.
Sudah kita ketahui, bangsa kita menganut sistem demokrasi yang berasal dari faham Kapitalis-sosialis liberal dimana kemajuan dilihat berdasar materialisme, sehingga hubungan antar negara mengharuskan masyarakat menerima bahasa selain bahasa kesatuan.Â
Sistem ini menetapkan satu bahasa internasional pemersatu antar negara untuk melakukan komunikasi, yaitu bahasa inggris. Wacana bahasa mandarin pun akan dipelajari di madrasah-madrasah sekolah muslim. Mengingat banyak pengusaha dan investor China.
Untuk itu, bagaimanakah Cara Sistem Islam (Khilafah) menyikapinya? Para ulama membagi hukum belajar bahasa Ajam (non-Arab) menjadi 2 keadaan:
 Â
Satu, Membiasakan bahasa Ajam dalam percakapan sehari-hari
Dua, Menjadikan bahasa Ajam sebagai wasilah (perantara) untuk kepentingan dakwah atau untuk kebutuhan duniawi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Dan adapun membiasakan berbicara dengan selain bahasa Arab yang merupakan syi'ar Al-Islam dan bahasa Al-Quran sampai bahasa tersebut menjadi adat (kebiasaan) bagi suatu negeri dan penduduknya, juga bagi penghuni rumah tangga, juga antara seseorang dengan temannya, bagi penduduk pasar, bagi pemerintahan atau dinas pemerintah atau menjadi kebiasaan bagi ahli fiqih, maka tidak diragukan lagi bahwa ini (membiasakan selain bahasa Arab) adalah dibenci karena termasuk tasyabbuh dengan orang-orang Ajam dan perkara tersebut adalah dibenci sebagaimana keterangan terdahulu." (Iqtidla' Shirathil Mustaqim: 206).