Di tengah derasnya arus globalisasi dan derasnya akses informasi digital, anak-anak saat ini tumbuh dalam lanskap sosial yang kian kompleks. Era pasca-pandemi yang ditandai dengan keterbatasan interaksi sosial langsung telah membawa dampak tersendiri pada proses sosialisasi dan pembentukan nilai anak. Laporan UNICEF pada tahun 2023 bahkan menyoroti peningkatan masalah kesehatan mental dan perilaku agresif di kalangan anak-anak akibat menurunnya interaksi emosional bermakna sejak dini. Dalam situasi ini, penting untuk menyoroti kembali urgensi pendidikan nilai moral dan agama yang diinternalisasi secara otentik, bukan sekadar kognitif. Pendidikan keberagaman bukan hanya mengenalkan perbedaan, melainkan menanamkan kemampuan anak untuk hidup selaras dalam perbedaan tersebut(Early Childhood Development - UNICEF Vision for Every Child | UNICEF, 2023).
Pendidikan anak usia dini (PAUD) menjadi panggung awal dalam membangun fondasi keberagaman ini. Di masa golden age periode krusial pertumbuhan otak dan pembentukan karakter pendidikan harus menyentuh aspek afektif anak. Studi yang dilakukan oleh Fitriyah (2019) menunjukkan bahwa metode keteladanan yang diterapkan di TK Al-Muhsin, seperti memberi contoh berperilaku sopan, mengucapkan salam, hingga mempraktikkan shalat dhuha bersama, telah efektif dalam menanamkan nilai agama dan moral sejak usia 4-5 tahun. Anak-anak bukan hanya menghafal doa dan surat pendek, tetapi juga menirukan sikap baik yang dicontohkan guru secara langsung. Di sinilah kekuatan pendidikan melalui keteladanan: bukan instruksi verbal semata, melainkan aksi nyata yang menjadi cermin hidup bagi anak(Fitriyah, 2019).
Sejalan dengan itu, pembelajaran yang menekankan pada keterlibatan aktif anak juga terbukti berkontribusi terhadap pembentukan karakter. Sejalan dengan penelitian Aulia, Hayati, dan Syam'iyah (2023) menyoroti efektivitas metode Kibar dalam meningkatkan aktivitas belajar dan kemampuan membaca huruf hijaiyah pada anak di RA At-Taqwa. Dengan pendekatan yang interaktif dan menyenangkan, anak menjadi lebih terlibat dan termotivasi dalam proses belajar agama. Hal ini menunjukkan bahwa metode yang menggabungkan kognitif, afektif, dan psikomotorik secara holistik dapat memfasilitasi tumbuhnya nilai spiritualitas dan semangat belajar yang sehat. Bahkan, dalam penelitian tersebut ditemukan adanya korelasi kuat (r = 0,6) antara aktivitas anak dalam metode Kibar dan peningkatan kemampuan membaca huruf hijaiyah(Aulia et al., 2023).
Namun, tantangan besar masih membayangi. Kita menyaksikan fenomena krisis empati, intoleransi, hingga kekerasan verbal yang merebak bahkan di usia sekolah dasar. Kecenderungan orang tua yang menyerahkan seluruh beban pendidikan karakter kepada sekolah, serta dominasi pola pengasuhan permisif di rumah, menjadi penyebab tidak langsung dari minimnya konsistensi dalam pembentukan nilai. Di sinilah pentingnya menyinergikan peran keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Seperti dikemukakan dalam studi Sabi'ati (2016), bahwa pendidikan moral dan nilai agama yang konsisten antara rumah dan sekolah akan memperkuat karakter anak secara signifikan(Sabi'ati, 2016).
Penguatan metode keteladanan di sekolah juga harus ditopang dengan pelatihan berkelanjutan bagi guru, agar mereka tidak hanya mengajarkan, tapi juga menjadi figur teladan yang autentik. Sebab, pendidikan nilai tidak bisa bersandar pada buku teks saja. Diperlukan pendidik yang mampu menghadirkan pengalaman nyata dalam interaksi sehari-hari. Tak kalah penting, metode kontekstual seperti Kibar yang menekankan pembelajaran partisipatif dan eksploratif juga perlu diperluas ke ranah pengembangan nilai sosial, seperti toleransi, empati, dan kerja sama. Saat anak belajar huruf hijaiyah dengan antusias, mereka juga bisa diarahkan untuk memahami makna sosial dari bacaan tersebut, seperti pentingnya menjaga lisan dan sikap dalam kehidupan bermasyarakat.
Lebih dari itu, pendekatan keberagaman pada anak usia dini juga harus menyentuh isu-isu aktual seperti pluralisme agama, kesetaraan gender, dan perbedaan budaya. Meskipun pada tahap usia dini hal-hal ini tidak diajarkan secara konseptual, namun melalui pengenalan tokoh lintas budaya, permainan kolaboratif, serta kegiatan yang menumbuhkan rasa empati, anak akan terbiasa melihat perbedaan sebagai sesuatu yang wajar. Penelitian Mufidah dan Nurfadilah (2021) menegaskan bahwa lingkungan rumah dan sekolah yang memberikan ruang untuk berbagi pengalaman dan cerita lintas latar belakang akan lebih mudah membentuk anak yang terbuka dan tidak eksklusif(Mufidah & Nurfadilah, 2021).
Penting juga untuk mengakui bahwa pendidikan keberagaman tidak hanya sebatas 'mengajarkan', tapi juga 'menghidupkan'. Guru dan orang tua harus menjadi representasi hidup dari nilai-nilai itu sendiri. Dalam praktiknya, seperti ditunjukkan Fitriyah (2019), kegiatan sederhana seperti menyapa, bersalaman, hingga memohon maaf dapat menjadi titik awal efektif untuk membangun empati. Ketika anak menyaksikan langsung bagaimana gurunya meminta maaf setelah melakukan kesalahan, maka nilai itu tertanam jauh lebih dalam ketimbang hanya mendengar ceramah mengenai pentingnya memaafkan.
Dengan demikian, keberhasilan pendidikan keberagaman pada anak usia dini tidak hanya bergantung pada materi ajar, tetapi pada kualitas interaksi, keteladanan figur dewasa, dan metode pembelajaran yang menyentuh ranah emosional anak. Keteladanan dan pendekatan kontekstual seperti metode Kibar menjadi model yang menjanjikan karena tidak hanya mengaktifkan aspek kognitif, tetapi juga afektif dan sosial anak.
Mengingat tantangan disorientasi nilai yang kian nyata di era digital ini, maka penguatan metode pendidikan nilai di usia dini adalah investasi peradaban yang paling esensial. Tidak cukup dengan hafalan dan tata cara ibadah, anak-anak juga perlu disiapkan untuk menjadi individu yang tangguh secara moral dan siap hidup dalam keberagaman. Maka sinergi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat menjadi fondasi yang tidak dapat ditawar dalam membangun masa depan yang lebih inklusif dan bermartabat.
Referensi
Aulia, N., Hayati, T., & Syam'iyah. (2023). Hubungan Antara Aktivitas Anak Pada Penggunaan Metode Kibar Dengan Kemampuan Membaca Huruf Hijaiyah Anak Usia Dini Di Kelompok A RA At-Taqwa Kecamatan Rajapolah Kabupaten Tasikmalaya. AL IHSAN: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini, 4(1). https://doi.org/10.69552/alihsan.v4i1.1732