Mohon tunggu...
Umi Laila Sari
Umi Laila Sari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Izinkan Kami Para Ibu Bebas Memilih (Curhatan Sesama Ibu-ibu di Hari Ibu)

17 Desember 2015   15:05 Diperbarui: 17 Desember 2015   15:05 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu senja, saat pulang dari sebuah acara.  Mungkin karena sudah tidak tahan, seorang ibu langsung nyerocos ke saya. "Padahal saya gak pernah mengeluh berapapun uang dikasi suami," ia antusias cerita meski dalam mobil ada orang lain.

"Yang buat saya sedih itu kalau ada kumpul keluarga. Orang tua selalu promosi. Mantunya yang A kerja di sini. Yang B kerja di sini. Nah saya gak pernah diceritain karena cuma ibu rumah tangga." Saya menahan nafas, lagi-lagi kasus yang sama.

Si ibu sesekali menepuk bayinya agar tetap tenang. "Itu mertua saya, mbak. Kalau orang tua saya gak jauh beda. Katanya percuma nyekolahin kamu tinggi-tinggi sampai kuliah kalau gak kerja, cuma di rumah aja." 

Tiba-tiba saya mau senyum. Bersyukur tidak dapat tuntutan seperti itu di keluarga. Meski tidak dihalangi untuk  mengaktualisasikan diri di ruang publik.

"Suami gimana?" Tanya saya.

"Sebenarnya ayahnya lebih suka saya di rumah, ngurus anak-anak. Mereka kan juga masih kecil. Dan kita gak pernah ribut soal keuangan." Saya lihat ia menghembuskan nafas perlahan. Sungguh, saya kasihan dengan teman baru ini. Kebetulan kami sama-sama ibu muda yang masih penuh kerepotan mengasuh bayi. 

"Oh jadi begitu alasan kamu akhirnya ngelamar ngajar?" Ia mengangguk. Rasa kasihan saya berubah jadi kekhawatiran. Bila pendidik punya niat yang tidak bulat menjalankan tugasnya, saya khawatir ada yang tidak maksimal terlaksana. Proses pendidikan yang berlangsung di sekolah harus dengan keriangan.  Lalu bagaimana jika pendidiknya sendiri dalam kondisi ada beban di  keluarganya.

Ah, kekhawatiran saya mungkin terlalu berlebihan. Hanya karena curhat teman tadi. Bagaimanapun saya harusnya berbaik sangka, meski ada sedikit keterpaksaan ia memilih bekerja namun semoga tidak mengurangi semangatnya mendidik anak bangsa. 

Ketika hampir tiba di rumahnya, saya sempatkan berujar, "orang tua hanya ingin memastikan kita hidup lebih baik dari mereka. Tapi mungkin caranya yang belum tepat." Ia mencoba tersenyum.

Akhir-akhir inipun ramai di sosmed  perang opini antara ibu rumah tangga versus ibu bekerja. Masing-masing punya alasan pembenaran pilihan mereka. Dan menurut saya tidak ada yang salah. Apakah seorang ibu memilih full time di rumah mengurus keluarga ataukah juga harus profesional bekerja dengan tanpa melupakan tugas utamanya di rumah tangga. Pasti ada alasan seorang ibu memilih bekerja, baik membantu ekonomi keluarga atau aplikasi ilmu yang dimiliki.

Meski saat ini saya diberi kesempatan lebih banyak waktu di rumah, saya apresiasi pada para ibu yang profesional bekerja. Terlebih yang punya kemanfaatan bagi ummat. Saya jadi gak risih konsultasi kesehatan karena banyak dokter atau tenaga kesehatan perempuan. Bahkan saya merasa lebih terjaga ketika saat ini sudah ada ojek perempuan. Mereka luar biasa. Berjuang menyeimbangkan peran domestik dan peran publiknya. Itu tidak mudah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun