Ada perbincangan menarik yang makin hari makin panas seperti suhu panas yang pernah melanda Jabodetabek 5 pekan lalu, terkait dengan pemulangan buronan dengan harga caci maki seumur hidup.
Mari seduh dulu teh angetnya!
Persoalan ini sebetulnya hasil refleksi dari hujan yang sering menjegal kita pergi ke kantor, ya barangkali begitu!
Bahkan kabar mau mudiknya buronan itu lebih menyeramkan dari ibu kos yang mau mampir untuk menagih uang bulanan. Adakah orang yang sangat tega dengan sengaja memisahkan ibu dan anak, istri dan suami, kakek dan cucu dengan perpisasahan dunia raga ini?Â
Orang awam seperti saya pasti lebih memilih takut dengan kepulangan mereka, karna mereka orang yang pandai memakai senjata dan lebih berpengalaman dalam mengeksekusi. Tobat sih katanya tobat, sejauh ini belum mendengar adanya tobat kolektif, apa itu agar lebih meyakinkah pemerintah ya? Tapi sejauh pemikiran saya, jika seseorang telah terkepung ada 2 kemungkinan, melawan demi harga diri, atau menyerah untuk menyusun strategi.
Kedua, sebagai orang awam saya lebih mengambil posisi wenak, karna masih lebih ringan banjir, surut, gatel dikit terus sembuh, ketemu macet lagi, dibanding diperangi, luka, lalu meninggal tak sempet liat anak-istri.
Kita masih punya tugas menanami hutan gundul, mengurangi macet, mensejahterakan kaum miskin, lebih ingin lagi menghindari pertikaian, ketakutan hingga peperangan.
Kita bersaudara, ngeteh bersama tanpa ada dusta, tanpa ada perbedaan!
Muhammad Farhan Iskandar, 13 Februari 2020Â