Myanmar, sebuah negara yang terletak di Asia Tenggara, telah mengalami perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir yang telah menyebabkan dampak mendalam bagi perekonomian dan masyarakatnya.Â
Setelah hampir lima dekade pemerintahan militer yang otoriter, Myanmar pada 2010 mulai memasuki jalur reformasi dengan mengadopsi demokrasi, di mana pemilu pada tahun 2015 membawa kemenangan besar bagi partai yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, National League for Democracy (NLD).Â
Namun, situasi berubah drastis pada Februari 2021, ketika militer Myanmar kembali merebut kekuasaan dalam sebuah kudeta yang menggulingkan pemerintahan terpilih. Sejak saat itu, negara ini memasuki periode ketidakstabilan politik yang parah, yang memengaruhi hampir setiap aspek kehidupan rakyat Myanmar, terutama ekonomi.
Penyebab Krisis Ekonomi Myanmar
Krisis ekonomi Myanmar tidak bisa dipisahkan dari peristiwa kudeta militer pada Februari 2021. Sebelum kudeta tersebut, Myanmar menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Namun, setelah militer kembali berkuasa, kondisi politik negara tersebut menjadi sangat tidak stabil.
Pemerintah militer yang dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing menangkap pemimpin-pemimpin sipil, termasuk Aung San Suu Kyi, dan membentuk pemerintahan yang tidak sah. Ketidakpastian politik ini menyebabkan ketakutan di kalangan investor, baik domestik maupun asing, yang mulai menarik diri dari pasar Myanmar. Hal ini berujung pada penurunan drastis dalam investasi dan menurunnya kepercayaan terhadap sistem ekonomi negara.
Sebagai respons terhadap kudeta tersebut, banyak negara Barat, termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Kanada, memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Myanmar.Â
Sanksi ini menargetkan berbagai sektor ekonomi, termasuk sektor energi, perbankan, dan perdagangan. Sanksi internasional ini berusaha memberikan tekanan pada pemerintah militer untuk memulihkan demokrasi di negara tersebut.Â
Meskipun sanksi ini dimaksudkan untuk memberikan dampak ekonomi yang signifikan, kenyataannya, sanksi tersebut lebih banyak merugikan masyarakat Myanmar, yang semakin kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka. Pembatasan akses ke pasar internasional juga memperburuk keadaan, karena ekonomi Myanmar sangat bergantung pada perdagangan luar negeri.
apa dampaknya?
Salah satu dampak langsung dari krisis politik adalah depresiasi nilai tukar mata uang Myanmar, Kyat, yang anjlok tajam sejak kudeta. Pada 2022, Kyat kehilangan lebih dari 60% nilainya terhadap dolar AS. Depresiasi ini mengakibatkan inflasi yang tinggi, dengan harga barang-barang pokok dan bahan bakar melambung. Kenaikan harga barang-barang impor, yang sangat dibutuhkan oleh negara, memperburuk kesulitan masyarakat, terutama kelas menengah dan bawah yang sudah terpukul dengan ketidakstabilan politik. Harga makanan, obat-obatan, dan barang-barang penting lainnya melonjak, memperburuk daya beli rakyat yang semakin terbatas.