Mohon tunggu...
Sayyid Miftahul Ulum
Sayyid Miftahul Ulum Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Meredam Dakwah Radikal Di Media Sosial

25 Mei 2025   17:57 Diperbarui: 25 Mei 2025   17:57 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Syamsul Yakin dan Sayyid Miftahul Ulum
[Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta]

Dakwah, secara umum, adalah upaya menyampaikan ajaran Islam kepada sesama dengan tujuan memperbaiki akhlak, mempererat persaudaraan, dan membawa manusia pada kebaikan. Namun dalam praktiknya, dakwah bisa memiliki dua wajah: dakwah radikal dan dakwah damai. Dakwah radikal cenderung menyuarakan ide-ide yang eksklusif, menghakimi, dan bahkan mendorong pada tindakan intoleran atau kekerasan. Bahasa yang digunakan seringkali hitam-putih, membelah umat antara "kami yang benar" dan "mereka yang salah". Sementara dakwah damai mengedepankan kasih sayang, toleransi, dan pendekatan yang lebih inklusif terhadap perbedaan---baik dalam konteks agama, budaya, maupun ideologi.

Kemunculan dakwah radikal di media sosial tidak muncul begitu saja. Akar historisnya bisa dilacak dari konteks global, seperti konflik di Timur Tengah, invasi asing terhadap negara-negara Muslim, dan munculnya ideologi transnasional yang merasa memiliki otoritas tunggal atas kebenaran Islam. Di Indonesia sendiri, jejaknya bisa ditemukan sejak era reformasi, ketika ruang kebebasan terbuka lebar, termasuk untuk kelompok-kelompok yang sebelumnya tidak memiliki panggung. Media sosial kemudian menjadi medium sempurna untuk menyebarkan narasi mereka---cepat, luas, dan minim sensor. Dengan strategi digital yang agresif dan narasi emosional, konten dakwah radikal cepat viral, terutama di kalangan anak muda yang sedang mencari jati diri dan jawaban atas keresahan hidupnya.

Dakwah radikal biasanya berasal dari paradigma bahwa dunia saat ini dalam keadaan krisis moral dan hanya bisa diselamatkan dengan kembali kepada "Islam murni" versi mereka. Mereka menolak tradisi lokal, mencurigai otoritas keagamaan yang moderat, dan menolak demokrasi karena dianggap sebagai sistem kufur. Mereka menggunakan simbol-simbol agama secara intens, menyusupkan narasi konspiratif, dan menciptakan musuh imajiner yang dianggap menghalangi tegaknya syariat. Cara berpikir biner dan doktrin ketaatan mutlak kepada pemimpin mereka menjadi alat kontrol sosial dalam komunitas dakwah radikal di dunia maya.

 Untuk meredam pengaruh dakwah radikal di media sosial, langkah pertama yang penting adalah memperkuat literasi digital dan literasi agama. Masyarakat harus diberi pemahaman tentang cara mengenali konten manipulatif, hoaks berkedok agama, dan paham ekstrem. Di saat yang sama, perlu juga disebarluaskan pemahaman keislaman yang rahmatan lil 'alamin melalui narasi-narasi segar, inklusif, dan relevan dengan kehidupan masa kini. Peran tokoh agama yang moderat, ustaz muda yang dekat dengan generasi Z, serta konten kreator Muslim yang berpikiran terbuka sangat krusial dalam membangun narasi tandingan. 

Platform digital seperti YouTube, Instagram, dan TikTok seharusnya turut bertanggung jawab dalam membatasi penyebaran dakwah yang menyuarakan kebencian atau menyerukan kekerasan. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan pihak platform perlu diperkuat, termasuk dengan membentuk tim pengawas konten yang memahami konteks keagamaan lokal. Selain itu, membentuk komunitas-komunitas digital yang menebarkan semangat Islam damai juga penting. Ruang-ruang virtual ini dapat menjadi tempat diskusi, edukasi, dan pendampingan spiritual yang sehat bagi mereka yang sedang mencari pegangan hidup.

Yang tidak kalah penting, pendekatan yang mengedepankan empati dan dialog harus terus digaungkan. Banyak orang yang terpapar dakwah radikal bukan karena niat jahat, tetapi karena merasa tersisih, kecewa pada sistem, atau kehilangan arah. Mereka membutuhkan ruang untuk didengarkan dan dipahami. Dalam meredam radikalisme, kita tidak cukup hanya memerangi ide, tapi juga harus menyembuhkan luka sosial dan psikologis yang menjadi lahan subur bagi radikalisme tumbuh. Melalui pendekatan yang lebih manusiawi, inklusif, dan penuh kasih, dakwah damai akan punya tempat lebih besar di hati masyarakat, baik di dunia nyata maupun di jagat maya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun