Mohon tunggu...
Elisa Dwi Prasetya
Elisa Dwi Prasetya Mohon Tunggu... Dosen - Berkacamata

Pengajar di STTBB, Trainer di 24hProject, tinggal di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bagaimana Menjadi Pengajar yang Berbeda?

19 Oktober 2017   13:39 Diperbarui: 23 Oktober 2017   11:48 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: http://blog.umy.ac.id

TAK MUDAH memang membuat orang-orang (murid) yang diajar menjadi mengerti. Alih-alih mengerti, mendengar pun tidak, karena tertidur sepanjang pelajaran berlangsung.

Situasi ini dipahami benar oleh para pengajar pada umumnya. Mungkin bagi mereka yang berhasil membuat para pendengarnya tidak mengantuk, sudah cukup merasa puas. Tidak begitu dengan lainnya -- barangkali lebih ekstrim lagi -- masa bodoh! Meskipun pendengarnya tidur, "Toh, saya dibayar untuk melakukan tugas saya, selesai!" Asal datang di kelas, presensi kehadiran, lihat jam, dan sesudah itu pulang lagi. Tak sedikit pula yang sengaja hanya memberikan tugas, katanya biar belajar mandiri hehe.

Disadari atau tidak, mental pengajar ada yang buruk bahkan tidak layak disebut seorang pengajar. Ya, karena itu tadi, masa bodoh dengan panggilan mulianya. Akibatnya jelas, generasi ini makin terpuruk, meskipun tidak boleh dibilang semuanya.

Tetapi tak sedikit yang terus berupaya supaya pengajarannya berhasil, pendengarnya kagum dan merespon dengan baik pengajarnya. Inilah mental pengajar yang istimewa.

Perkataannya Penuh Kuasa

Tak ada yang melebihi kehebatan Sang Guru Agung (seperti yang diceritakan dalam Injil), ketika Ia mengajar. Seringkali diceritakan, begitu banyak orang berbondong-bondong mengikuti-Nya ke mana pun Ia pergi. Tak terbayangkan, jika seorang pengajar harus mengajar kepada 5000 orang pria dewasa, belum termasuk wanita dan anak-anak. Ada bermacam jenis orang di situ, mereka yang menyebut dirinya ahli Taurat sampai nelayan atau petani. Namun Sang Guru itu dapat berhasil "mendaratkan" ajaran-Nya pada semua kalangan itu.

Hebatnya lagi, ketika penulis Injil Markus maupun Lukas menyebutkan bahwa orang banyak itu: "Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya..." (Luk. 4:32, Mrk. 1:22). Takjub berarti kagum; heran/tercengang (akan kehebatan, keindahan, keelokan seseorang atau sesuatu). Orang banyak itu kagum, tercengang akan pengajaran-Nya.

Mengapa mereka kagum, tercengang? Kebanyakan kita mungkin akan berujar karena metode yang dipakai-Nya atau lainnya. Benar, namun bagian lanjutan dari tulisan Markus dan Lukas dengan baik memperlihatkan jawabannya: "Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab perkataan-Nya penuh kuasa."

Jadi mengapa para pendengar-Nya kagum? Alasannya adalah, karena perkataan Sang Guru Agung itu penuh "kuasa". Dalam Alkitab bahasa Inggris, kata ini disebut "power" yang artinya juga kuasa. Namun jika kita menilik kata dalam bahasa aslinya: "Exousia", seringkali menunjuk "dalam arti kemampuan, kekuatan, kapasitas, kompetensi, dan hak istimewa". 

Jadi, power atau kuasa yang semacam itulah yang seharusnya ada di dalam diri seorang pengajar. "Kuasa" itu bukan diartikan pada metodenya, bukan pula cara atau pada peralatan yang dipakainya, tetapi pada "perkataannya" atau apa yang keluar dari mulutnya. "Perkataan-Nya penuh kuasa...",artinya kata demi kata yang membuat pendengarnya takjub itu adalah akibat dari kemampuan, kekuatan, kapasitas, dan kompetensi yang dimiliki pengajar itu.

Ini tak berarti bahwa hal lain yang sebutkan sebelumnya tidak penting, tetapi keistimewaan seorang pengajar seharusnya seperti arti katanya: Ia memiliki kemampuan, kekuatan, kapasitas, dan kompetensi, sehingga perkataan yang disuarakannya menggugah dan mengubahkan pendengarnya. Kompetensi, kapasitas, kekuatan, kecakapan perkataannya adalah hak istimewanya untuk membuat pendengarnya diberkati. Sehingga seharusnya tidak butuh waktu lama, pendengarnya akan kagum dengan kuasa perkataannya. Tapi bagaimana kita mendapatkan "kuasa" yang seperti itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun