Mohon tunggu...
Ulfa I I
Ulfa I I Mohon Tunggu... -

Seorang penyuka politik, jurnalisme, dan aktivis pergerakan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melihat Kembali Pemikiran Anti-Kolonial Kartini

21 April 2010   10:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:40 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_123291" align="alignleft" width="150" caption="Gambar diambil dari: http://kristik-gratis.blogspot.com"][/caption] Menarik sekali, dalam memperingati Hari Kartini tahun ini, kita kembali memulai mendiskusikan sosok Kartini dan pemikirannya. Ini juga soal bagaimana melihat konteks soal Kartini saat itu dan bagaimana meletakkannya dalam konteks saat ini. Sudah menjadi kecenderungan di masyarakat kita saat ini, Kartini melulu diletakkan sebagai pejuang kesetaraan kaum perempuan, tidak lebih dari itu. Akhirnya, karena penempatan seperti itu, Kartini hanya tampil sebagai sosok gerakan emansipasi, namun menghapuskan sosok-sosok Kartini yang lain seperti pejuang anti-kolonial, seorang pelopor nasionalisme Indonesia, dan sebagainya. Pelopor Perjuangan Nasional Untuk memahami gerakan perempuan Indonesia, kita tidak bisa melepaskannya dengan setting sejarah kolonialisme dan fase perjuangan panjang menuju Indonesia merdeka. Karena faktor itu,  seorang tokoh pergerakan perempuan akan sulit mengunci diri dari isu anti-kolonialisme dan perjuangan nasional, termasuk juga Raden Ajeng Kartini. Kartini adalah pengagum Multatuli, tokoh penulis Max Havelaar, dan dari situ dirinya mengambil pelajaran penting mengenai penindasan kolonial. Dalam beberapa tulisannya, Kartini mulai meresapi pencarian identitas sebuah bangsa "terjajah", yang kelak sangat mempengaruhi gagasan-gagasan perjuangan nasional setelahnya. Dalam konteks itu, Pramoedya Ananta Toer malah mengatakan, "Kartini sebagai pemikir modern Indonesia pertama-tama, yang tanpanya, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin." Kakek Kartini adalah seorang progressif, dan itu diakuinya telah menurun pada dirinya. Dalam tulisannya, Kartini menjelaskan secara panjang lebar mengenai hubungan kolonialisme yang menindas, dan menunjukkan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sebagai buah dari kolonialisme yang jahat itu.  "Aku naik pitam jika mendengar orang mengatakan "Hindia yang miskin." Orang mudah sekali lupa kalau "negeri kera yang miskin ini" telah mengisi penuh kantong kosong mereka dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama saja tinggal di sini," demikian dikatakan Kartini dalam suratnya. Kartini, dimata Joost Cote, salah seorang penerjemah surat-surat Kartini, dalam konteks sejarah nasional Indonesia, adalah simbol dari pemutusan secara radikal dengan masa lalu,  dan sebagai pendahulu (pelopor) dari nasionalisme Indonesia setelahnya.  Gagasan Kartini tertular kepada empat orang saudaranya, yaitu  Roekmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematri. Keempat bersaudara ini berpartisipasi dalam gerakan nasional di masa awal, membuka sekolah untuk perempuan, menulis opini soal pendidikan dan politik, bahkan menjadi penandatangan Jong Java, sebuah asosiasi yang mewakili aspirasi politik di masa awal. Bagi kartini, gerakan perempuan akan sulit berkembang bila memisahkan antara problem perempuan dan problem sosial masyarakat. Dalam 150 pucuk surat-suratnya, selain menulis soal-soal perempuan seperti pendidikan untuk perempuan, ketidaksetaraan dalam pernikahan, dan sebagainya, dia juga menulis soal efek buruk dari dominasi kolonial dan kebutuhan untuk mengangkat kehidupan rakyat, khususnya petani. Hanya saja, bagi Kartini, adalah sangat penting untuk menyatukan antara perjuangan rakyat di Indonesia dengan kaum progressif Belanda, untuk melawan dominasi kekuasaan kolonial. Pada saat itu, bagi pelopor pergerakan nasional anti-kolonial seperti Kartini, sangat sulit untuk menemukan sekutu penting di dalam rakyat Indonesia yang belum tersadarkan dan kadang memusuhi gagasannya. Kartini memulai pemikiran mengenai embrio nasionalisme Indonesia, dan itu dilakukan jauh sebelum gerakan nasional itu sendiri muncul sebagai sebuah organisasi. Dalam konteks waktu itu, dimana gagasan pencerahan nasional masih sangat kecil dan ketiadaan alat untuk mewujudkan cita-citanya, perjuangan Kartini adalah yang termaju. Itulah mengapa, misalnya, kendati Kartini menyadari diperlukannya aksi bersama untuk mencapai perubahan sosial, ia tidak mendirikan satu organisasi pun. Bagi saya, terlepas dari berbagai keterbatasan saat itu, pemikiran Kartini tidak hanya berkontribusi kepada gerakan pembebasan nasional dari spectrum nasionalis, namun juga mempengaruhi tiga spectrum besar lainnya; feminis, sosialis-marxist, dan islam modernis. Gerakan Emansipasi Karena perjuangan Kartini telah dikerdilkan hanya sekedar emansipasi perempuan, seperti juga yang diakui oleh negara, maka gerakan perempuan mengalami ambiguitas. Ini sangat nampak dari sejumlah perdebatan menarik soal selesai dan belum selesainya perjuangan emansipasi. Karena sebagian besar istilah emansipasi telah didominasi oleh pengertian menurut feminis liberal, maka sebagian menganggap bahwa cita-cita Kartini sudah tercapai. Bagi sebagian mereka, perjuangan emansipasi kini sudah mendapat pengakuan dari negara, dan ini dapat dilihat dari berbagai regulasi yang mulai mengatur ruang perempuan dalam politik. Kemudian, dalam ruang politik ini, ada banyak perempuan yang mulai mewarnai. Bahkan perempuan pernah menjadi presiden di Republik ini, sesuatu yang belum tentu bisa terjadi di negeri lain. Tidak jarang terjadi, seorang perempuan sukses dalam urusan bisnis ataupun politik dianggap identik perwujudan sosok Kartini seperti ketika Ruhut Sitompul menobatkan Sri Mulyani sebagai sosok Kartini era-reformasi. Ini telah membunuh sosok Kartini sebagai pejuang anti-kolonial dan pelopor nasionalisme Indonesia. Karena, Sri Mulyani bukanlah sosok perempuan yang mau berdiri untuk mewakili kepentingan perempuan bangsanya dan kepentingan nasional negaranya. Dalam literatur sejarah politik Indonesia, peranan gerakan perempuan memang dituliskan sangat minimal dalam sejarah perjuangan nasional. Aktivitas perempuan Indonesia, seperti perempuan di banyak tempat, secara tradisional telah dikeluarkan dari defenisi "politik" konvensional dan, karena itu, mereka jarang sekali dimasukkan dalam analisis mainstream. Di mata Soekarno, Kartini ditempatkan sebagai perempuan revolusioner karena sikapnya yang anti-kolonial dan anti-feodal. Namun, ketika Soeharto berkuasa, sosok Kartini telah diubah menjadi lebih ibuisme dan tunduk pada kodrat sebagai perempuan. Ini didesain dalam setiap perayaan hari Kartini dengan mengharuskan perempuan menggunakan kebaya, sanggul, dan kain panjang. Padahal, Kartini tidak pernah ditaklukkan. Kartini menikah saat memasuki usia 25 tahun, sesuatu yang sulit terjadi pada perempuan jawa saat itu. Setelah menikah pun, Kartini bisa memaksa suaminya untuk mengakui kebebasannya, termasuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Kartini berjuang hingga akhir hayatnya. Konteks Sekarang Kita sedang mempersiapkan diri untuk  memperingati hari kelahiran Kartini, 21 April tahun ini, sebuah momen penting bagi perempuan Indonesia di bawah tekanan neoliberalisme. Tidak bisa dihindarkan, neoliberalisme memang menciptakan kesenjangan sangat lebar antara perempuan kelas atas dan perempuan kelas bawah (buruh, KMK, petani).  Pada gilirannya, perpecahan ini membawa  perbedaan pula dalam hal isu -isu politik dan bagaimana mengartikulasikan kepentingan kelasnya. Bagi sebagian perempuan kelas atas, alam neoliberal bisa menjadi "surga keberuntugan" bagi mereka, sehingga mereka menjadi konservatif ketika berbicara soal kemiskinan dan kesetaraan ekonomi. Sebaliknya, bagi perempuan kelas bawah, neoliberalisme adalah "neraka" bagi kehidupan dan masa depan mereka, serta generasi selanjutnya, dan telah memilih mobilisasi sosial sebagai senjata perjuangan mereka. Di eranya, Kartini yang seorang Priayi, mungkin, menjadi perwakilan penting bagi gerakan pembebasan perempuan dan perjuangan anti-kolonial,  karena status sosialnya memberikan dia ruang untuk mengecap pengetahuan. Namun, di jaman sekarang ini, Kartini bisa saja terlahir dari perempuan kalangan bawah, sektor yang paling terhisap dan paling dinamis dalam perlawanan terhadap neoliberalisme. Kartini memang bukan pengikut teori kelas ataupun gerakan sosialis, meskipun teman korespondensinya seperti Stella Zeehandelar, seorang feminis dan sosialis Belanda, dan pernah membaca buku August Babel, Women and Socialism. Bagi sebagian gerakan perempuan, khususnya klas atas, fikiran Kartini yang diserap kebanyakan soal kesetaraan gender atau feminism belaka, sedangkan gagasan nasionalistik dan anti-kolonialnya terbuang di tong sampah karena tidak sesuai dengan orientasi kelasnya. Aktifis feminis pribumi Bolivia menamai tipe gerakan perempuan semacam ini sebagai teknokrasi gender (gender Technocracy), sebuah tipe gerakan yang lebih suka berdialog dengan program gender dari negara donor dan PBB, namun menapikan dialog dengan kaum perempuan di negerinya tentang kebutuhan mereka. Sebaliknya, gerakan perempuan kelas bawah semakin sulit terpisah dengan sektor-sektor anti-neoliberal lainnya, meskipun tidak spesifik berbicara soal gender. Sebagai missal, semakin banyak perempuan kelas bawah termobilisasi dalam penolakan kenaikan BBM, tuntutan upah, perbaikan layanan kesehatan, pendidikan, dsb, meskipun aliansi politik yang menaunginya tidak eksplisit berbicara soal orientasi gender. Neoliberalisme, seperti juga kolonialisme dulu, menjadi penghalang terbesar bagi perubahan kehidupan sosial rakyat Indonesia, dimana perempuan juga berkecimpung di dalamnya. Oleh karena itu, sosok Kartini di jaman sekarang tidak identik dengan perempuan cerdas dan berada dalam kekuasaan, namun bisa saja seorang buruh perempuan, perempuan miskin kota, ataupun perempuan petani yang berfikir kepentingan kaumnya dan juga rakyatnya. Selamat hari Kartini! Diambil dari: berdikarionline.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun