Diantara para pemilih yang sekian ratus juta itu ada golongan nenek nenek tua renta,(misal-kemungkinan) artibut lain yang dimiliki si nenek adalah; buta huruf-bukan pengamat politik yang cerdas-bukan orang yang tahu mana yang terbaik buat masyarakat-negara termasuk bukan orang yang biasa menyimak acara debat paslon.Â
Dan karenanya si nenek mungkin akan memilih bukan berdasar ilmu pengetahuan yang valid melainkan hanya berdasar bisikan dari kiri kanan mungkin dari anak anak nya atau dari cucu cucu nya. intinya sang nenek ini kita sebut saja sebagai 'pemilih tak berkualitas'
Tak beda jauh dengan kualitas si nenek mungkin adalah anak anak muda 'okem' yang gemar dengan aktifitas aktifitas yang kita sebut sebagai kenakalan remaja atau anak anak bau kencur yang tak begitu peduli dengan masalah politik.
Sama dengan si nenek,mereka juga bukan pengamat acara acara debat politik misal.mereka menuju bilik pemilih mungkin karena faktor merasa disuruh-bukan karena berdasar kesadaran ingin mengubah masa depan negara misal
Sebaliknya dibalik mereka-para pemilih 'tak berkualitas' itu ada golongan orang orang yang sangat bersungguh sungguh memikirkan masalah politik, karena mereka memikirkan masalah yang ada di masyarakatnya, berkeinginan ingin merubah masa depan masyarakat dan negara nya ke arah yang lebih baik,mereka adalah orang orang yang intens memperhatikan acara acara debat politik agar pengetahuan mereka tentang situasi politik betul betul terasah.
Mereka mendatangi bilik pemilih dengan niat-tekad serta visi misi yang jelas dan juga dengan disertai pengharapan pengharapan yang baik.mereka ini kita sebut saja sebagai golongan pemilih yang berkualitas
Tetapi apakah demokrasi membedakan serta memilah antara dua golongan berbeda jauh secara kualitas ilmu pengetahuan politik ini ?
Dalam demokrasi suara nenek tua renta yang tidak tahu apa apa tentang persoalan masyarakat dan apalagi persoalan politik ini-yang memilih hanya berdasar bisikan bisikan orang lain ini ternyata sama-sejajar-sederajat atau satu banding satu dengan suara seorang profesor-doktor-cendekiawan-ulama-ilmuwan yang tahu betul permasalahan permasalahan yang ada di masyarakat-yang tahu benar salah seputar masalah politik
Demikian juga bila seorang anak muda 'okem'-bertatto-yang rambutnya di punk-yang sehari hari anggota geng dan suka mabuk itu kalau ia masuk ke bilik suara maka suara yang diberikannya akan sama-sederajat-sejajar dengan suara seorang profesor doktor ahli politik atau suara seorang ulama yang untuk memilih ia betul betul telah melihat serta mempertimbangkannya dari berbagai sisi-aspek
Karena demokrasi yang orientasi pada pemenangan suara mayoritas itu tak mengenal atau membedakan kualitas dari para pemilihnya.bagi para analis-pengamat akal sehat-pemerhati tiap kebijakan yang dibuat manusia mungkin ini adalah sebuah bentuk keganjilan tersendiri dari system demokrasi, atau malah fakta yang menyakitkan.tapi bila kembali pada prinsip demokrasi 'suara rakyat adalah suara Tuhan' maka keganjilan keganjilan dalam demokrasi seolah tertutupi oleh semboyan yang nampak idealis.
Padahal fakta-kenyataannya rakyat itu sendiri tidak lah sama mereka terdiri dari individu individu yang berbeda beda bahkan ada yang moral nya baik dan ada yang moral nya tidak baik,ada pendukung ide ide yang baik dan ada pendukung ide ide yang tak baik sehingga tidak mutlak semua dapat dianggap merepresentasikan 'suara Tuhan'.karena pendukung ide tak baik tentu saja tidak bisa disebut mewakili suara Tuhan