Tak semua kenangan bertahan, tapi beberapa tetap hidup, dalam foto, dalam tawa, dan dalam sosok yang masih menyapa hingga hari ini, keseruan masa ABG waktu itu lebih sensasional. Berpetualang di hutan kota dimana udara masih sejuk, dan hewan penghuni hutan pun masih menampakkan jejaknya.
Foto ini diambil sekitar pertengahan tahun 80-an, saat kami masih berseragam SMA dan Kebun Raya Bogor masih menjadi surga kecil yang bebas dimasuki kapan saja. Udara masih sejuk, pohon-pohon raksasa menjulang, dan di pagi atau sore hari, kalong-kalong besar masih biasa terlihat bergelantungan atau beterbangan di langit-langit hutan kota seakan ngajak bermain menikmati udara.
Entah bagaimana sore itu, seekor kalong berhasil kami pegang. Mungkin sedang lelah, mungkin terlalu rendah terbangnya. Yang jelas, momen itu langsung kami abadikan dengan kamera jadul, hasilnya buram tapi berharga. Kami, anak-anak SMA dengan semangat petualang dan wajah-wajah polos, berpose bangga, seolah baru saja menangkap legenda.
Lucunya, dari lima orang di dalam foto itu, kini hanya satu orang yang masih kukenal dengan jelas: Bapak Dadang Muhammad Anwar. Sosoknya khas dan sulit dilupakan. Kadang kita hanya perlu satu wajah yang masih kita kenali, untuk menghidupkan seluruh ingatan yang nyaris terlupa.
Saya tidak tahu ke mana teman-teman lainnya pergi. Tapi setiap kali melihat Pak Dadang, saya merasa seperti bertemu kembali dengan seluruh isi foto itu, semua tawa, semua cerita, semua semangat masa muda yang dulu kami bagi bersama.
Waktu itu, Pak Dadang adalah remaja ceria dengan gaya rambut poni belah dua ala Duran-Duran, celana begi, serta baju kemeja dilinting ke atas khas 80-an, senyum tak pernah lepas, dan kumis tipis seperti penyanyi romantis masa itu, sebut saja Dian Pramana Poetra dan aktor idola '80-90an Herman Felani, Ia adalah tipe anak yang supel, ramah, dan selalu jadi perekat suasana. Saat semua orang malu-malu, dia sudah duluan ngajak ngobrol dengan siapa pun.
Kini, beberapa dekade berselang, beliau masih hadir di setiap temu alumni. Posturnya sudah berubah, daddy's look banget, pipi chubby yang bersahabat, rambut belum sepenuhnya putih, serta senyum khas yang masih setia menempel di wajahnya, dan selalu hadir di setiap temu kangen para alumni.
Melihat Pak Dadang di setiap kopdar seperti melihat potongan hidup yang masih utuh, masih bersambung dari masa lalu ke masa kini. Sementara yang lainnya, di foto itu mungkin sudah jauh, entah di mana, atau bahkan mungkin sudah tidak ada,
Kalau dulu dia selalu paling duluan menyapa di kantin atau saat pulang sekolah, sekarang pun dia tetap menjadi salah satu sosok paling setia hadir di setiap temu alumni.
Di tengah rombongan kami yang makin menua dan tak selalu bisa hadir, Pak Dadang adalah jembatan yang menyambung kenangan, membawa kami kembali ke masa kalong, tawa, dan persahabatan yang belum usai.
Kadang, hanya butuh satu orang yang tetap hadir, untuk membuat seluruh kenangan terasa hidup kembali.
Saya tidak tahu ke mana teman-teman lainnya pergi. Tapi setiap kali melihat Pak Dadang, saya merasa seperti bertemu kembali dengan seluruh isi foto itu, semua tawa, semua cerita, semua semangat masa muda yang dulu kami bagi bersama.