Mohon tunggu...
Setyawan 82
Setyawan 82 Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Tajamnya peluru yaka akan pernah bisa mengalahkan tajamnya pena. Ketajaman pena bermanfaat saat digunakan untuk hal yang patut.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kasak-Kusuk Grondkaart, Begini Penjelasan Dr. Erniwati, M. Hum., Menanggapi Pernyataan Dr. Kurnia Warman

19 Oktober 2018   15:44 Diperbarui: 19 Oktober 2018   15:50 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perspektif keilmuan hukum berdasarkan pedekatan kekuatan ilegal formal, sementara ahli sejarah bekerja dengan pembuktian terbalik yang tidak dari satu aspek atau satu sisi saja, oleh karena itu di dalam sejarah mengandung interdisipliner dari berbagai perspektif ilmu. Kami bisa menilai dari berbagai perspektif seperti perspektif hukum dan perpekstif historikal, baik hukum maupun filsafat atau perspektif bahasa. Ilmu hukum melakukan pembuktian terbalik. Pembuktian itu hanya mengacu pada A dan B. Sebagai perumpaan si A memiliki sebidang tanah ditempat yang sama dengan si B, si A tidak memiliki sertipikat sementara si B memilki, menurut perspektif hukum si B sebagai pemilik tanah, bagaimana si B mendapatkan sertipikat dari sisi hukum diabaikan karena tujuannya adalah pembuktian secara legal. Berbeda dengan orang sejarah, dia menulusuri sejarah ke belakang berdasarkan banyak sebab yang dapat dikumpulkan sebagai manifestasi bukti sehingga dapat dilakukan kroscek data dan memberikan interprestasi lebih berani sesuai fakta. Ahli sejarah tidak berangkat dari ilegal formal saja tetapi dari multi aspek, sehingga ahli sejarah dapat memgungkap suatu peristiwa dari berbagai faktor dan dari berbagai sumber sebagai langkah melakukan interprestasi dan mempertajam analisis. Sudut empiris tidak dikaji dari legal formalnya saja, tetapi mengulas semua data-data yang ditemukan dari berbagai sumber yang mengarah kepada fakta otentik.

Ada keterbatasan pendekatan hukum untuk menganalisis masalah tanah, dimana bukti selalu melihat pada legal formal masa kini, namun cenderung mengabaikan masa lalu. Perumpamaannya seperti ini, pada jaman dulu, belum ada E-KTP, pencatatan kependudukan belum semaju sekarang, tetapi negara mengakui kita sebagai warga negara Indonesia yang sah, dan juga rutin membayar pajak tanah, megara juga mengakui hak-hak lainnya, kemudian ketika orang-orang yang hidup pada masa itu dan tidak memiliki E-KTP lantas tidak diakui sebagai warga negara. Kemudian dulu hampir sebagian besar sertpikat diterbitkan dengan istilah leter-C, kemudian sekarang pemerintah meminta semua hak kepemilikan tanah perorangan dan institusi wajib menggunakan sertipikat, apakah harus si pemilik tanah kemudian tidak  menjadi pemilik sah atas tanah tersebut? Tentu tidak, namun membutuhkan waktu untuk dilakukan konversi ke sertipikat sekarang dan hal itu tidak menghilangkan haknya.

Seperti kita ketahui bersama, Andi Surya mengutip apa yang disampaikan oleh Wakil Dekan FH Universitas Andalas Dr. Kurnia Warman yang kebetulan berlatar belakang hukum, menurutnya tanah-tanah yang diklaim milik PT KAI jika ada orang-orang yang mendaftarkannya, BPN tidak bisa menolaknya. Wakil Dekan FH Universitas Andalas ini menyatakan, hal tersebut dalam acara focus group discussion (FGD) bersama pakar hukum agraria, anggaran negara, dan keuangan publik yang digelar Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI, Senin (15/10). Menurutnya jika kemudian ada orang-seorang yang mendaftarkan tanah tersebut BPN tidak bisa menolaknya. Karena, kata Dr. Kurnia Warman, Groondkaart tidak bisa otomatis menjadi dasar penguasaan oleh PT. KAI, termasuk di Lampung. Masalah Groondkaart, peta tanah yang dibuat Belanda pada tahun 1913 yang diklaim PT. KAI sebagai asetnya. Padahal, tidak sedikit, masyarakat yang telah menempati lebih dari tiga generasi.

Berbeda 360 derajat dengan Andi Surya dan Dr. Kurnia Warman, sebut saja Dr. Erniwati, M. Hum.,  menilai pemahaman Andi Surya sebagai sebuah anakronisme dalam memahami Grondkaart sebagai alas hak kepemilikan atas tanah negara yang hak pengelolaannya sudah diserahkan kepada BUMN. Berulangkali ia menyatakan Grondkaart tidak sah dijadikan alat bukti kepemilikan dan lahan-lahan tersebut tanah negara bebas. Andi Surya perlu belajar sejarah. Secara struktural, Grondkaart muncul sebagai bagian dari sistem hukum (khususnya hukum agraria/perdata) kolonial dan bukan dalam konteks hukum nasional RI. Oleh karenanya apabila Grondkaart akan dipelajari dan dianalisis, sebaiknya ditempatkan dalam kedua konteks di atas dan bukan pada konteks sistem hukum negara Indonesia sekarang untuk menghindari anakronisme (memandang suatu obyek peristiwa dari zaman yang berbeda dengan kacamata pengamatnya). Meskipun demikian, untuk bisa mengetahui fungsi Grondkaart dalam sistem hukum dan administrasi Republik Indonesia masa kini, perlu dilacak kesinambungan dari proses dan perkembangan sistem hukum dari era kolonial, sehingga akan ditemukan titik di mana Grondkaart masih akan terus berperan dan memiliki nilai legitimasi sebagai alas hak.

Grondkaart saat dibuat memiliki fungsi sebagai bukti yang menunjukkan bidang tanah/lahan yang telah dibebaskan (onteigenning) oleh pemerintah Hindia Belanda baik dengan pembayaran ganti rugi dari pihak yang sebelumnya memiliki hak atas lahan itu maupun lahan tak bertuan atau tanah komunal yang kemudian semuanya dinyatakan sebagai tanah pemerintah (Gouvernement grond). Dasar dari perubahan status ini dimuat dalam surat keputusan pemerintah (Gouvernement besluit) tanggal 19 Januari 1864 nomor 8, yang menyatakan bahwa pemerintah bisa melakukan pembebasan lahan apapun bila diperlukan dan memberikan status menjadi tanah pemerintah (harus dibedakan dengan tanah negara/Landsdomein dan Staatsdomein) dan menyerahkannya kepada pihak lain yang memiliki hubungan hukum yang sah dengan pemerintah, apakah demi kepentingan publik atau kepentingan usaha. Dari situ tanah yang dibebaskan kemudian diukur oleh lembaga pertanahan pemerintah (kadaster) yang memerintahkan juru ukurnya (landsmeter) dan hasilnya sebagai bentuk surat ukur tanah kemudian diberi nomor urut kadaster. Sejak itu tanah-tanah tersebut dinyatakan resmi sebagai milik pemerintah (eigendom van gouvernement) dan ketika digunakan untuk fungsi tertentu, dari surat ukur tersebut kemudian dibuat Grondkaart.

Grondkaart menjadi alat bukti yang sah bagi penunjukkan status hak dan kepemilikan/penguasaan lahan secara hukum karena memiliki dua dasar. Dasar pertama adalah hukum administrasi, yaitu bahwa ada sejumlah peraturan yang mendasari penerbitan Grondkaart sebagai tindak lanjut dari fungsi Grondkaart seperti yang diuraikan di atas. 

KUHP Indonesia berasal dari ilmu hukum kolonial Belanda yang kemudian di konversi atau dinasionalisasi (Indonesiaisasi). Proses ini sama dengan analogi proses nasionalisasi yang terjadi di Indonesia tahun 1958. Nasionalisasi yang dilakukan adalah terhadap aset yang dikusai pemerintah Belanda menjadi milik Indonesia kecuali milik swasta. Khusus swasta dilakukan pembayaran ganti rugi. Untuk lebih mempermudah memahami hal tersebut, Dr. Erniwati, M.Hum., menjelaskan kita bisa ambil contoh mengenai public service seperti stadion atau gelora yang digunakan untuk kepentingan masyarakat pasa jaman itu, fasilitas tersebt untuk ruang publik, digunakan untuk umum dan dimiliki negara bukan kepemilikan individu. Kepemilikan individu diakui mulai tahun 1870 ketika mulai ada UU Agraria dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda untuk melegalkan tanah-tanah yang selama itu belum mempunyai dasar hukum. Tanah yang tidak memilki dasar hukum adalah tanah yang tidak digarap atau belum ada pemiliknya otomatis menjadi milik negara. Ketika menjadi milik negara maka pemerintah bisa memanfaatkan untuk kepentingannya. Dan inilah yang kemudian dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia menjadi milik negara. 

Ada perlunya pemerintah melakukan research mengenai sejarah Grondkaart melalui para ahli sejarah untuk melakukan analisis mendalam. Hasil kesimpulannya dapat digunakan sebagai pertimbangan dan kebijakan dalam mengatur regulasi melalui peraturan atau perundang-undangan yang mengatur tentang ruang-lingkup tanah-tanah negara yang hak pengelolaannya telah diserahterimakan kepada BUMN supaya tidak ada lagi kerancuan. Sekalipun akan dilakukan persertipikatan atas tanah tersebut, dengan dilakukan research maka pemerintah kedepan dapat semakin mempertegas dalam mengatur kebijakannya. Selama ini banyak orang yang hendak merampok tanah negara dengan dalih UU Pokok Agraria, mereka selalu memelesetkan bahwa tanah-tanah tersebut merupakan tanah negara bebas sebagaimana celoteh Andi Surya di depan media.  STY

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun