Mohon tunggu...
Chaca Nugraha Zaid
Chaca Nugraha Zaid Mohon Tunggu... Freelancer - Lifelong Learner

Penikmat Sains, Teknologi, Filsafat, dan Pemikiran Islam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menakar Polemik Pengharaman Filsafat

7 Februari 2021   07:00 Diperbarui: 10 Februari 2021   10:54 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustasi perenungan filsafat (sumber: pinterest.com)

Beberapa bulan lalu ramai kita temui postingan yang menyatakan bahwasanya filsafat itu haram dan merupakan pintu kekafiran. Sontak saja kolom komentar postingan pun tidak luput dari berbagai macam obrolan, mulai dari pihak yang mendukung hingga yang tidak sepakat. Lantas bagaimanakah sebenarnya posisi filsafat di tengah polemik ini?

Mari kita perhatikan dengan seksama bahwasanya postingan bergambar tersebut mengutip perkataan Imam Asy-Syaafi'i dengan redaksi kurang lebih seperti berikut:

"Hukum filsafat adalah haram dan ia pintu kekafiran. Tidak ada dalam filsafat kecuali kebodohan. Imam Asy-Syaafi'i berkata: Tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada ilmu filsafat dan ahli filsafat" (Taarikh Al-Islaam li Adz-Dzahabi 14/332).

Jika kita cek dari sumber yang digunakan di postingan tersebut maka ditemukan kekeliruan dalam penerjemahannya sehingga membuatnya keluar konteks. Redaksi asli dari Imam Asy-Syaafi'i tidak memakai kata "filsafat", tetapi "kalam". Sehingga terjemahannya  menjadi, "Tidak ada yang lebih aku benci dibanding kalam dan ahli kalam". Kemudian, konteks "kalam" di pernyataan Imam Asy-Syafi'i itu secara khusus merujuk pada kelompok qadariyyah (kelompok yang meyakini bahwa Allah tidaklah mengetahui dan berkuasa untuk menetapkan takdir sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang) dan nufat as-shifat (para penyangkal sifat-sifat Allah) [Azis Anwar Fachrudin, peneliti Centre for Religious and Crosscultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada].

Filsafat itu bukan hanya monopoli orang Yunani, sedehananya filsafat itu adalah kegiatan berfikir, maka tidak hanya orang Yunani saja yang berfilsafat, tapi semua orang pun bisa. Ibn Rusyd dalam karyanya Fasl al-Maqal menjelaskan urgensi mempelajari filsafat, diantaranya yaitu pemecahan persoalan-persoalan dalam ilmu syariat. Ibn Rusyd mengungkapkan bahwa syariat Allah itu wajib diikuti dan membimbing manusia menuju kemuliaan. 

Filsafat di sini ternyata bukan filsafat anti-ketuhanan dan sekuler (seperti cara belajar menurut framework Barat), namun cara berpikir mendalam, logis, teratur tanpa menafikan wahyu. Maka cukup mengherankan jika orang Indonesia yang notabenenya umat Muslim terbesar justru kikuk ataupun merasa aneh membicarakan filsafat (terutama filsafat islam).

Secara historis memang cendekiawan dan ulama islam mempelajari filsafat dari karya orang-orang barat (seperti Yunani), namun tidak asal-asalan menerima mentah-mentah semuanya. Setiap hal baru yang dipelajari selalu dikritisi (ada proses seleksi, pemurnian, modifikasi dan reformulasi konsep) dan tentunya diberikan sentuhan nilai-nilai keislaman. Seperti yang disampaikan Al-Kindi bahwasanya tidak perlu malu menerima kebenaran dan menyimpan kebenaran walaupun datangnya dari negeri yang jauh dan berbeda budaya maupun agamanya. Karena sejatinya Timur dan Barat adalah milik Allah, maka jika ada yang benar terimalah.

Marilah sejenak kita lihat para cendekiawan dan ulama Islam, dimulai dari masa klasik seperti Al Kindi, Al Farabi (dengan filsafat politiknya), Ibn Sina, Imam Al Ghazali, Ibn Rusyd, Fakhruddin Al Razi, ataupun hingga abad pertengahan seperti Suhrawardi, Ibn 'Arabi, dan Mulla Shadra (dengan filsafat hikmahnya), ataupun bahkan yang cukup dekat dengan kita pada masa pergerakan di Indonesia yaitu M. Natsir (dengan filsafat pendidikannya). Semua orang di Timur maupun di Barat tidak ada yang mengatakan bahwasanya Ibnu Sina ini tidak rasional. Semua mengakui kalau beliau sangat logis dan filosofis. Tapi, beliau ini tidak kafir, tidak atheis, dan tentu saja seorang Muslim. Begitu juga dengan cendekiawan dan ulama Islam lainnya yang berkecimpung dengan filsafat.

Meskipun begitu, ada beberapa orang muslim yang menganggap bahwa mepelajari filsafat itu mubah mutlaq, haram mutlaq, atau bi syart (boleh atau haram dengan syarat). Contohnya saja Imam Al-Ghazali termasuk ulama yang menyatakan bahwa filsafat itu dilarang karena dampak buruknya, kecuali bagi dua jenis orang, yakni mereka yang mempunyai masalah dan mereka yang berkapasitas (kuat akalnya, mantap agamanya, dan teguh imannya). Jadi dua orang ini ibarat orang sakit yang memerlukan obat, sedangkan yang satunya lagi, ibarat dokter yang ingin mengobati orang sakit.

Hal yang cukup menarik untuk kita dalami adalah konteks filsafat yang dilarang oleh ulama di atas itu maksudnya bagaimana? Karena jika kita tinjau secara historis perkembangan ilmu pengetahuan, maka filsafat pada masa itu sama halnya dengan sains pada masa ini yang merupakan ilmu pengetahuan dengan berbagai macam cabangnya seperti Logika (manthiqiyyat), Aritmatika (riyadiyyat), Fisika (thabi'iyyat), Ketuhanan (ilahiyyat), Etika (khuluqiyyat), politik (siyasiyyat), dll. Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah maupun karya lainnya (Ihya Ulumuddin & Al Munqidh min al Dalal) jika dipahami dengan baik, Imam Al Ghazali di sana mengkritik filsafatnya para filsuf masa itu yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman khususnya persoalan ilahiyyat. 

Sehingga yang perlu kita ingat dan garis bawahi bahwasanya kritik oleh ulama (terutama Imam Al Ghazali) nyatanya tidak anti terhadap filsafat, dan kritik itu ditujukan bukan pada semua bagian dalam filsafat tersebut, namun yang dikritik hanya bagian filsafat yang bertentangan dengan akidah Islam. Bahkan Ibn Taimiyah dalam Minhaj al-Sunnah menulis bahwa filsafat bisa diterima jika memenuhi syarat, yaitu asalkan berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi Shalallahu 'alai wa sallam. Filsafat yang berdasarkan al-Sunnah ini beliau sebut dengan al-Falsafah al-Shahihah (filsafat yang benar). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun