Cerita ini berawal dari celoteh seorang teman yang bekerja di Sindo Radio – dulu dikenal sebagai Trijaya FM. Sebagai karyawan, ia sudah merasakan pahit manisnya bekerja di perusahaan yang bernaung dibawah MNC Group itu. Meski kompetisi di industri radio terbilang ketat, ia mengakui kuatnya image Trijaya sebagai radio yang membidik kalangan profesional muda, membuat Trijaya tetap leading di segmen menengah atas. Alhasil, brand equity sebagai radio papan atas juga membuatnya bangga menjadi bagian dari Trijaya FM.
Sayangnya sejak lebih dari setahun terakhir, dunia seperti berubah 180 derajat. Apa pasal?
Sejak berubah nama menjadi Sindo Radio, perolehan rating terus melorot. Ujung-ujungnyamudah ditebak, pendapatan iklan pun menuikik tajam. Kondisi ini belum pernah terjadi sebelumnya di masa masih bernama Trijaya. Iklan tak pernah surut. Pengiklan bahkan rela antre pada program-program unggulan. Usut punya usut, kebanyakan pemilik brand dan agency ternyata lebih menyukai nama Trijaya ketimbang Sindo Radio.
Meski mencoba membidik segmen yang sama, brand baru itu cenderung dinilai generic dan tidak memiliki karakter sekuat Trijaya yang mengusung positioning “The Real Radio”. Perubahan nama tersebut juga langsung menghilangkan air personality yang direpresentasikan oleh sejumlah acara unggulan. Tengok saja “Indonesia Round-Up” yang merupakan program talk-show popular yang mendadak hilang. Begitu juga program music jazz yang sebelumnya sangat identik dengan Trijaya dan memiliki basis pendengar yang loyal.
Tidak ingin radio kebanggaannya berubah menjadi unit bisnis dhuafa, CEO MNC Group Hary Tanusudibyo, bergerak cepat. Sadar bahwa market perception terhadap Trijaya masih ampuh, ia akhirnya memutuskan untuk kembali memakai nama yang sudah dibuang itu. Namun Hari tidak sepenuhnya back to khittah. Ia masih menganggap Sindo merupakan brand yang wajib diusung untuk unit media (Koran, radio, majalah) dibawah MNC Group. Jadilah sejak beberapa waktu lalu, para penyiar harus membiasakan diri dengan menyebut Sindo Trijaya, sebagai jelmaan berikutnya dari hasil improvisasi sang taipan.
Apakah manuver ini mampu mengangkat Sindo Trijaya kembali ke deretan radio-radio papan atas? Waktu yang akan menentukan. Namun, jika melihat brand Sindo yang dipaksakan bersanding dengan Trijaya, saya cenderung skeptis.
Sebagai identitas merek, publik sepertinya sudah kadung menganggap Sindo sebagai nama sebuah harian. Bukan radio atau majalah. Ketika Trijaya FM yang sudah mapan, mendadak diubah menjadi Sindo Radio, masyarakat yang selama ini sudah menjadi pendengar setia radio tersebut pun langsung kehilangan. Apalagi, air personality yang direpresentasikan dari gaya siaran dan program yang diusung ternyata juga berubah total. Pada akhirnya, karena persoalan emotion ini mereka akan tetap memilih berpindah ke radio lain. Inilah yang menjadi ganjalan terbesar Sindo Trijaya karena belum tentu penambahan nama Trijaya akan berdampak langsung pada perolehan audience share.
Terlepas dari prediksi tersebut, digusurnya Trijaya sebagai identitas bisnis yang terbilang mapan, layak disebut sebagai tragedi. Kasus Trijaya seperti mengulang sulitnya Lite FM menembus deretan elit radio papan atas di Jakarta. Padahal sewaktu masih bernama Ramako, radio ini sudah sangat kuat dan melegenda yang memudahkannya meraup pendapatan dari iklan. Sekali lagi dunia bisnis, khususnya industri radio patut berhati-hati karena tidak selamanya rencana diatas kertas sejalan dengan penerimaan pasar. Apalagi jika implementasinya bersifat hit and run.
Selain itu, digusurnya Trijaya bisa dibilang langkah blunder yang dilakukan seorang Hary Tanusudibyo. Mungkin ia ingin mengikuti jejak taipan asal Inggris, Richard Branson, pemilik Virgin Group ini sukses membesarkan jaringan bisnisnya hingga membentang ke berbagai lini, seperti penerbangaan, telekomunikasi media, properti, musik dan lainnya. Branson yang terbilang pebisnis nyeleneh, juga gemar mengakuisisi perusahaan kecil atau yang kesulitan permodalan, untuk kemudian menggantinya dengan Virgin.
Namun, berbeda yang dilakukan Hary Tanusudibyo adalah, unit bisnis yang sudah sehat dipaksakan menjadi entitas yang seragam, yakni Sindo. Seperti halnya mantan pendengar Trijaya lain, saya pun tidak habis pikir dengan keputusan Hary itu. Karena media radio memiliki keunikan tersendiri. Sifatnya yang personal, membuat persoalan fanatisme kerap menjadi alam bawah sadar para pendengar. Lucunya, ketika pada akhirnya angka-angka berbicara dan berujung pada kekecewaan, ia pun balik badan dengan mencomot kembali nama Trijaya.
Apakah langkah itu bisa mengangkat kembali pamor "Sindo" Trijaya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI