Mohon tunggu...
Uci Anwar
Uci Anwar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Karena Hidup Harus Bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Menulis Itu Layaknya (Maaf) Orgasme

25 Januari 2020   10:17 Diperbarui: 25 Januari 2020   10:18 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kening kerabat itu berkerut. "Menulis tidak dibayar ? Lalu buat apa ?". Sulit menjawabnya dengan kalimat verbal. Dia mengetahui benar, bahwa nyaris seumur hidup saya mencari uang dari menjual tulisan. 

Sejak kelas 6 sekolah dasar, dengan tulisan tangan cakar ayam, saya berhasil menjual tulisan ke sebuah majalah anak-anak. Saya tidak berani meminjam mesin tik ayah, saya belum mahir menggunakannya, saya khawatir merusaknya. Selain itu, segan meminta kertas putih polos yang bisa saya pakai. Orangtua saya bukan orang kaya, bahkan untuk kertas pun mereka harus berhemat.

Kesukaan menulis di sekolah pertama menengah (SMP) bersambut, ketika sekolah mewajibkan semua murid berlangganan sebuah majalah anak-anak. Saya jadi tidak perlu bolak balik ke tukang penjual majalah, untuk mencari kalau-kalau tulisan saya di muat.

 Di majalah "Kucica", majalah langganan sekolah tersebut, ada rubrik tentang anak-anak berprestasi. Rubrik itulah yang saya isi. Caranya mudah, cari teman atau kakak kelas yang juara, dalam bidang apa pun. Saya wawancarai, dan saya tulis dalam bentuk tulisan jadi, di kertas sobekan buku. 

Honor pertama yang saya peroleh 2.500 rupiah, pada tahun 1980-an, adalah harta karun yang berlimpah. Belum punya identitas diri, uang dikirimkan melalui wesel, bisa diuangkan dengan membawa KTP orangtua, di kantor pos.

Sejak saat itu menulis menjadi mata pencaharian saya. Tamat sekolah menengah atas (SMA), tak ada biaya kuliah, sebuah tawaran untuk menjadi wartawan datang pada saya di sebuah harian lokal di Bandung. Tawaran yang tidak saya sia-siakan tentu saja, sambil mengumpulkan uang untuk biaya kuliah di tahun berikutnya.

Bahwa saya "matre" dari tulisan benar belaka. Namun saya selalu berusaha menghindari pemberian uang di luar gaji atau honor menulis. Jika seorang narasumber, sebuah lembaga atau institusi resmi memberikan amplop (berisi uang tentu saja), saya menolak dengan halus. 

Saya berbohong, saya meniru beberapa teman-teman wartawan yang dari koran tempatnya bekerja memang tidak memperbolehkan menerima amplop. Padahal koran kecil tempat saya bekerja, membolehkannya. 

Namun alasan ini kadang tak bisa saya ungkapkan. Misalnya dalam sebuah jumpa pers. Tentu saja saya harus menghormati rekan rekan wartawan lainnya yang menerima amplop. Biasanya  amplop saya ambil dulu, kelak jika ruangan sudah kosong,  saya cari panitia dan mengembalikannya dengan penuh hormat pula.

Menikah dan memiliki anak, hingga anak-anak beres kuliah, menulis tetap saya lakukan. Namun saya menyambi mencari uang dengan berbisnis membuat baju alias konveksi. Jujur, mengandalkan gaji dan honor menulis belaka tidak bisa menunjang kesejahteraan dan pendidikan anak anak. 

Kini mereka sudah beres kuliah, menikah, dan mapan. Kewajiban saya usai. Saya tinggal menikmati kebahagiaan mengetik huruf per huruf dan merangkainya menjadi kata dan kalimat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun