Pulau Penyengat di Kepulauan Riau sering disebut sebagai "pulau kecil dengan jejak besar". Dari pulau inilah, Raja Ali Haji melahirkan karya-karya monumental yang meletakkan fondasi bahasa Melayu modern, yang kelak menjelma sebagai bahasa Indonesia. Melangkahkan kaki ke pulau ini tidak hanya berarti berziarah budaya, tetapi juga menapaki akar bahasa pemersatu bangsa.
Bahasa Melayu sendiri telah memiliki riwayat panjang jauh sebelum Penyengat dikenal. Sejak abad ke-7, bahasa ini muncul dalam prasasti Kedukan Bukit di masa Sriwijaya. Fungsinya bukan sekadar bahasa lokal, tetapi juga bahasa dakwah, perdagangan, dan komunikasi antarbangsa. Inilah tahap Melayu Kuno, ditulis dengan aksara Pallawa dan Kawi, kemudian berkembang ke Jawi (Arab-Melayu).
Pada abad ke-19, Pulau Penyengat memainkan peran penting. Raja Ali Haji menulis Kitab Pengetahuan Bahasa---kamus dan tata bahasa pertama yang sistematis---serta Gurindam Dua Belas yang memadukan etika Islam dan kearifan lokal. Dari sinilah lahir Melayu Penyengat, bentuk yang lebih baku dan siap menjadi dasar bahasa modern.
Memasuki abad ke-20, bahasa ini berubah wujud menjadi bahasa politik pergerakan. Surat kabar, pamflet, hingga rapat-rapat organisasi nasional menggunakan bahasa Melayu yang lugas dan egaliter. Tahap ini disebut sebagai Bahasa Pergerakan, yang meruntuhkan sekat etnis sekaligus menjadi medium gagasan kebangsaan.
Puncaknya tiba pada 28 Oktober 1928, ketika para pemuda dengan lantang bersumpah menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia. Keputusan itu bukan sekadar mengganti nama, melainkan menghadirkan identitas baru yang melampaui etnis Melayu. Sejak saat itu dimulailah era Bahasa Indonesia (1928--1945), yang kemudian diabadikan dalam UUD 1945 sebagai bahasa resmi negara.
Selepas kemerdekaan, bahasa Indonesia terus bergerak. Pengaruh Belanda, Inggris, hingga arus globalisasi memperkaya kosakatanya. Kini, Bahasa Indonesia Modern bukan hanya bahasa negara, tetapi juga bahasa ilmu, teknologi, sastra, hingga dunia digital.
Namun, akar dari semua perkembangan ini tetap bisa ditelusuri kembali ke Pulau Penyengat. Di situlah Raja Ali Haji menyiapkan fondasi yang memungkinkan bahasa Melayu menjelma menjadi bahasa kebangsaan. Maka, berkunjung ke pulau ini serasa membaca halaman awal dari kitab panjang bahasa Indonesia.
Sejarah ini menegaskan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah ruang pertemuan identitas, agama, dan politik. Dari Sriwijaya, Penyengat, hingga Sumpah Pemuda, bahasa menunjukkan kekuatannya sebagai perekat bangsa.
Dan Pulau Penyengat, meski mungil di peta, telah memberi bangsa ini sesuatu yang lebih besar daripada luas daratannya: bahasa yang mempersatukan kita semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI