Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kabar Pahit Untuk Bekantan

17 September 2015   16:30 Diperbarui: 17 September 2015   18:02 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langkah saya terhenti, di atas jalan yang di aspal. Beberapa langkah di depan, sebuah eskavator sedang sibuk membongkar hutan. Pada seorang bapak yang berdiri menonton, saya memperoleh jawaban jika hutan yang dibongkar itu akan dibuat kolam ikan. Hutan itu akhirnya “tergusur” juga, ini kabar pahit untuk Bekantan.

Hutan itu tidaklah besar, mungkin juga lebih pas dimaknai sebagai kumpulan pepohohan saja. Luasnya kira-kira sebesar lapangan sepak bola. Letaknya juga di dalam desa, terhimpit diantara dua jalan yang juga menyambungkan deretan pemukiman warga. Jadi kalau dilihat dari atas, hutan kecil itu adalah tutupan hijau diantara warna coklat yang berjejer membentuk empat persegi panjang.

Di hutan itulah, rombongan Bekantan atau juga disebut Monyet Belanda karena hidungnya yang bangir, datang mencari pucuk daun. Setiap sore, satwa dengan nama latin Nasalis larvatus ini akan muncul, berlompatan di dahan pepohonan, mencari pucuk-pucuk daun yang segar. Sesudahnya, pada malam hari, hutan kembali sepi. Rombongan Bekantan pergi ke dalam hutan yang lebih tersembunyi. Mungkin mereka pergi ke kawasan Taman Nasional Sebangau, entahlah.

Karena melihat kenyataan seperti itu hampir setiap sore, saya merasa selama ini, mereka baik-baik saja. Kedatangan mereka setiap sore menandakan bahwa hutan tersebut bukan saja memiliki pucuk daun yang nikmat, tetapi mereka juga merasa at home, nyaman. Tidak ada yang memburu, tidak ada yang sibuk menganggu.

Kesaksian seperti ini mungkin kelihatan sepele, atau lebay. Tapi kalau ingat kabar manusia-manusia pemburu yang mengejar satwa seperti Bekantan lalu memamerkan hasil buruannya di sosial media, kita mungkin perlu berfikir kembali. Atau, kalau ingat kabar berita bahwa pernah ada seorang Tuan Besar Sawit yang memerintahkan membunuh Orangutan, kita mungkin baru ingat kalau tindakan begitu bukan saja melangggar hukum, tapi sudah masuk kategori biadab. Kok bisa seperti itu, binatang dibunuh lalu dipamerkan seolah-olah sedang mendapatkan tanah jajahan baru.

Maka, kalau ingat hutan kecil itu, dalam hati saya, ada rasa lega karena Bekantan di sini, tidak perlu kabur terlalu jauh ke hutan karena ketakutan disiksa tangan manusia. Mereka bahkan bisa datang kapan saja, bermain di hutan di dalam desa tersebut. Tidak ada gangguan.

Saya bukan aktifis pembela satwa yang dilindungi. Saya juga bukan pecinta hewan yang saking sayangnya sama piaran malah dikurung-kurung, didandani seperti dirinya sendiri, diajak ke mall, dibawa ke salon dan sebagainya. Ilmu dan kasih sayang saya tidak sampai ke sana. Saya hanya merasa, dengan melihat Bekantan yang bermain di dekat pemukiman setiap hari pada saat bersamaan sedang terus diingatkan kalau hutan ada bukan hanya menyediakan untuk dinikmati manusia. Ada hak makhluk lain di sana. Selain itu, dengan melihat Bekantan dari jarak yang cukup dekat, saya merasa beruntung, karena tidak semua orang di Indonesia pernah melihat aksi-aksi si Monyet Belanda ini.

Namun, setelah sekian lama menikmati kehadiran Bekantan, saya tiba-tiba merasa naif karena berharap pemandangan itu akan abadi. Lebih tepatnya, satwa seperti Bekantan, mungkin, tidak pernah bisa hidup berdampingan terlalu dekat dengan manusia dan "peradabannya". Sebagaimana hutan, tidak pernah bisa bertahan lama di tengah pemukiman manusia yang terus memproduksi anak keturunan berikut kebutuhan dan kepentingannya. Jadi, saya sebaiknya berhenti berharap, berhenti menjadi tiba-tiba romantik, bahwa Bekantan bisa terus ada di hutan kecil itu. Sejauh ini, mereka sudah bisa hidup tanpa takut diburu-buru mungkin adalah sebuah ungkap syukur yang lain.

Pada akhirnya, saya harus mengakui bahwa pembangunan kolam ikan yang menggambarkan usaha manusia untuk kebutuhan kebutuhan hidupnya dengan membongkar hutan kecil tersebut adalah sesuatu yang niscaya. Sebagaimana galibnya, usaha pemenuhan serupa ini akan selalu menjadi tenaga pendorong yang merombak hutan dengan konsekuensi meminggirkan penghuni lain seperti Bekantan. Dalam kasus yang lain, tenaga pendorong yang sama juga ikut serta dalam membongkar gunung dan mereklamasi pesisir laut. Lalu kita tinggal menjadi saksi atau korban, bukan saja lansekap yang berubah, tapi juga karena keseimbangan ekologi yang bergeser.

Demikian juga yang dialami hutan kecil, rumah tempat bermain Bekantan setiap sore. Hutan yang telah dirombak karena tekanan perubahan fungsi.

Yang pasti, sejak saat ini, perputaran sore saya akan terasa ganjil. Sore tanpa rombongan Bekantan yang bermain di puncak-puncak pepohonan. Dan, ketika hendak mengakhiri curhat ini menyusuli isi kopi yang menyusut deras, seorang tetangga berujar senang, “nah, baru kelihatan bagus nih!” sembari melihat hutan kecil yang tutupannya mulai menganga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun