Pun di Jayapura, ketika di Yotefa atau di Padang Bulan. Di Yotefa, kami memiliki tetangga-tetangga yang sudah selayaknya saudara karena mama mampu menjadi "solidarity maker" yang telaten. Karena ini juga, saya bahkan telah menjadi bagian dari keluarga Batak yang hingga hari ini masih saling bertanya kabar. Â
Di Padang Bulan, kami memiliki tetangga dari kelurga Raja Ampat, Ambon, Makasar, Jawa yang tak ubahnya saudara kandung.Â
Mama adalah pemain kunci yang merajut ini semua. Saya kira situasi ini karena kultur besar Indonesia Timur di mana mama tidak terlalu mengalami kesulitan dengan sikap hidup juga kebiasaan sehari-hari.Â
Tapi, hidup di Jawa dalam beberapa tahun dengan tetangga yang hangat adalah penerapan ilmu tetanggamu adalah saudaramu yang tak bisa lagi dibantah.Â
Mama yang tak bisa berbahasa Jawa itu kini menjadi inti yang merekatkan hidup bertetangga secara hangat.Â
Pada satu waktu, mama pernah menelpon dan bercerita kegiatannya bersama ibu-ibu. Selain pengajian rutin dan arisan, mereka juga aktif mengunjungi tetangga yang sakit.
Mama rasanya akan bisa hidup di mana saja. Sikapnya yang selalu menyapa atau memulai percakapan dengan orang lain membuatnya selalu terbuka dan bersedia menjadi bagian dari kehidupan khalayak. Mama selalu menyambut kebersamaan, bukan menunggunya.Â
Saya sampai berseloroh, karena sikapnya menyambut kebersamaan, "Bahkan dengan batupun, bisa diajak bicara sama mama."
Kedua, Berhati-hati selalu, Kamu di Negeri Orang!Â
Kewaspadaan seperti ini mulai sering dipesankan mama sesudah saya belajar menafkahi hidup sendiri.Â