Dus, berbagi kesenduan lewat radio di pagi hari jadi tampak seperti dosa. Bukan tipe manusia modern, blas!
Entahlah, ini bukan soal benar tidaknya, patut tidaknya. Cerita ini hanya semacam kesaksian yang tidak canggih dari perjumpaan kembali dengan kota kecil yang tidak saya tinggali hampir dua tahun terakhir.Â
Jalan-jalannya masih sama, lampu merahnya masih yang itu-itu juga. Keruwetannya pun masih berlangsung sama. Tempat dimana saya sering pergi makan juga masih sama, masih bertahan. Namun mendengarkan musik radio yang sendu bukanlah peristiwa harian dan rutin.
Berbagi yang seperti ini atau lebih tepatnya bertetangga secara sendu begini terasa mewakili geliat nadi jelata di lapis bawah tatanan, sebagaimana jamak kita jumpai di terminal atau dalam angkutan yang bolak-balik mengantar orang ke tempat-tempat yang jauh. Orang-orang mungkin ingin berdamai dengan cara berbagi kesenduan seperti itu.
Mungkin juga saya. Dan ketika matahari mulai menguasai langit, saya harus berhenti. Bergegas membereskan urusan-urusan saya sendiri.
Selamat Pagi, Sampit!
*** Â