Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Iklan di Tubuh Puisi" atau Sedikit Catatan Perihal Kolonisasi Dunia Makna

23 Juni 2019   12:31 Diperbarui: 23 Juni 2019   12:45 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Film Ex-Machina (2015) \ Sumber: Entertainment Weekly

Sesudah mengangit puisi 300 kata berjudul "Menara Kecil di Mimpiku", saya berkeliling ke beberapa lapak K'ers. Membaca, memberi vote atau meninggalkan sedikit komentar. Setelahnya, kembali ke lapak sendiri untuk membalas komentar yang mampir dan melihat jumlah vote.

Saya kemudian memutuskan untuk keluar, kembali ke kenyataan. Ada tiga potong pakaian kotor yang harus dijemur pagi ini. Ada jejak malam yang mesti dibasuh sebelum matahari tinggi, tapi...

Manakala membuka lapak sendiri dari gawai, tubuh puisi saya tidak lagi ada karena dirinya sendiri. Di tubuhnya yang ringkas itu- 300 kata!-berjejal iklan- sampai tiga biji. Tidak lagi jelas, orang yang mampir di sini sedang disuguhi sejenis puisi atau iklan yang terasa agresif sekali.

Karena itu, saya memilih menulis "curhat" pendek ini.

***

Saya ingin memulai dari kesaksian yang mungkin menimpa banyak orang. Begini, Mamen..

Menyusun puisi selalu merupakan bagian dari perjuangan diri yang tidak pernah mudah bahkan ketika banyak orang percaya sesungguhnya puisi ada dimana-mana, kalian tinggal menuliskan saja. Atau, ketika puisi menjadi sekadar seni mengutak-atik kata, ia tetap saja adalah tantangan yang sulit, yang membutuhkan kecergasan pikiran serta waktu (dan paket data) yang tidak sedikit.

Terlebih kepada sejenis amatir dengan kedangkalan yang bukan saja berulang namun barangkali juga telah mencapai status mentok, stagnan. Apalagi harus dengan melakukan semacam "studi banding singkat secara daring" (: dengan membaca beberapa karya para penyair yang telah memiliki nama, menelisik gaya dan menemukan makna) namun kesadaran amatir ini tak jua menemukan pencerahan bagi jalan puitik sendiri.

Tetapi, kalau tidak melalui puisi, dengan apa saya terselamatkan dari mengutuki politik seperti para pemandu sorak kekuasaan? Huhuhu..

Tidakkah saat politik menjadi menjijikan, berjaraklah dengan susastra!

Demikian juga dengan hari Minggu ini ketika di laman sosial media, tidak sedikit orang menyitir Hujan Bulan Juni milik Mbah Sapardi, saya menyusun puisi sesudah beberapa hari yang seperti tanpa perjalanan dan kesaksian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun