Mohon tunggu...
Gian Darma
Gian Darma Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

seorang yang suka seni dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jaga Lakumu di Bulan Suci Ini

14 Mei 2019   02:50 Diperbarui: 14 Mei 2019   03:48 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seminggu ini kita dikejutkan dengan berita tentang seorang pria yang berdemo di depan kantor Bawaslu, jl MH Thamrin Jakarta. Dalam rekaman yang beredar luas dan kemudian viral itu menunjukkan bahwa dengan sadar pria yang diketahui bernama HS itu mengancam akan memenggal kepala presiden berkenaan dengan pilpres April lalu.

Rekaman yang viral itu mengusik ketua tim Jokowi Mania melaporkan perilaku HS. Bukan saja soal politik tapi karena hakekatnya presiden adalah symbol negara sehingga jika ada yang mengancamnya maka itu sama saja dengan mengancam symbol negara.

Karena pengancam symbol negara itu diketahui ternyata warga negara Indonesia sendiri maka tuduhan yang ditujukan padanya adalah makar. Makar punya pengertian bahwa ada usaha untuk menjatuhkan pemerintah yang sah. Jangan lupa presiden adalah symbol atau representasi negara itu sendiri. Karena itu siapapun yang mengancamnya akan dihadapkan pada koridor hukum yang melindungi simbol negara.

Koridor hukum itu tertuang padaPasal 104 KUHP berbunyi demikian, "Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun".

Pada proses penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian pada kemarin, HS mengaku bahwa dirinya khilaf ketika mengatakan itu. Tentu saja hal ini harus diiringi pendalaman oleh yang berwenang karena tak bisa melepaskan orang yang telah melakukan kesalahan serius kemudian dilepaskan lagi karena mengaku khilaf atau melakukan dengan tidak sadar.

Bagaimanapun, apa yang telah dilakukan HS adalah satu tindakan yang salah. Pilpres adalah satu proses politik yang biasa untuk semua bangsa di dunia. Diikuti oleh pihak dari berbagai kalangan. Apakah itu petahana atau oposisi dan lain sebagainya. Setelah pilpres selesai seharusnya kita kembali pada kehidupan nyata dimana kita harus saling menghargai sebagai sesama warga negara serta menjaga persatuan dan kesatuan.

Jika pemilu sudah berlangsung dan didapati hal-hal yang mungkin tidak sesuai dengan seharusnya, selayaknya mereka mengambil jalan solusi sesuai dengan mekanisme yang ada. Semisal jika penetapan pemenang sudah dilakukan maka pihak yang tak puas itu bisa mengajukan banding ke MK dan sebagainya. Jadi ada mekanisme yang mengatur ketidakpuasan pilpres . Jadi mengancam presiden di pinggir jalan bukanlah tindakan bijaksana dan memalukan sebagai warga negara.

Apalagi kita saat ini berada di bulan ramadan dimana seharusnya menahan diri dari berbagai tingkah laku yang tidak seharusnya dilakukan. Bulan suci disediakan untuk menahan diri dari banyak bentuk godaan dan Alloh menantinya di ujung Ramadan dengan senyum kemenangan karena kita bisa mengalahkan nafsu angkara murka yang ada di kepala dan hati kita.  Itu adalah jihad yang sebenar-benarnya bagi kita.

Karena itulah, sudah seharusnya kita menjaga laku kita pada bulan penuh berkah ini agar Alloh membawa kita pada kemenangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun