Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis

Pegiat Literasi Politik Domestik | Kompasianer

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Elit Parpol Kuasai Eksekutif dan Legislatif, Wakil Rakyat Berstatus Kader Bisa Apa?

3 September 2025   08:20 Diperbarui: 2 September 2025   22:16 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengambilan sumpah pimpinan DPR RI periode 2024-2029 di Gedung DPR, Senayan, Jakarta (Selasa, 01/10/2024) | Sumber: KOMPAS.com/Adhyasta Dirgantara)

Mari kita bicara jujur: politik Indonesia hari ini lebih mirip arena bagi para elite partai ketimbang ruang rakyat untuk menitipkan aspirasi.

Sering kita dengar kalimat manis "DPR adalah wakil rakyat." Tapi kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Yang duduk di kursi DPR adalah kader partai, orang-orang yang nasib politiknya sepenuhnya bergantung pada restu ketua umum.

Rakyat mungkin memilih, tapi partai yang menentukan siapa boleh masuk daftar calon dan siapa harus tersingkir. Dari titik itu saja sudah terlihat jelas: wakil rakyat lebih dulu berstatus "wakil partai" sebelum bisa benar-benar bicara soal kepentingan rakyat.

Ironinya semakin kentara ketika kita melihat konfigurasi kekuasaan setelah pemilu. Mayoritas partai besar, yang sebelumnya bersuara keras di parlemen, ujung-ujungnya merapat ke pemerintah. Dengan dalih stabilitas nasional, mereka berebut jatah kursi kabinet, seolah kursi menteri adalah hadiah untuk loyalitas politik. Jadilah kita hidup dalam sistem politik yang hampir tanpa oposisi. 

Bayangkan, eksekutif dan legislatif, yaitu dua lembaga yang semestinya saling mengawasi, justru dikendalikan oleh orang-orang dari partai yang sama, bahkan seringkali dari lingkaran elite yang itu-itu saja.

Coba kita tilik lebih dalam. Presiden adalah ketua umum partai, beberapa menteri juga ketua umum partai, sebagian wakil menteri pun petinggi partai, ketua DPR juga kader partai, begitu pula pimpinan alat kelengkapan dewan, dan seterusnya.

Bukankah ini ibarat satu rumah tangga yang hanya berganti kamar, tapi tetap di bawah kuasa orang tua yang sama?

Di kabinet mereka duduk sebagai pejabat eksekutif, di DPR mereka duduk sebagai legislator, tapi benang merahnya tetap satu: semua tunduk pada kepentingan partai.

Kalau begitu, bagaimana mungkin rakyat bisa berharap pada fungsi check and balance yang sehat?

Sistem presidensial yang kita adopsi sebenarnya dirancang agar presiden dan DPR berdiri di dua kaki yang berbeda: satu sebagai pelaksana kebijakan, satunya lagi sebagai pengawas. Namun dalam praktik Indonesia, garis pembeda itu hampir lenyap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun