Saya mau jujur. Dulu, kalau dengar kata "pebisnis", yang terbayang di kepala saya adalah orang berdasi, duduk di kantor ber-AC, atau minimal punya toko keren di pinggir jalan. Tapi semakin saya belajar, saya sadar: itu definisi sempit.
Pebisnis sejati bukan cuma mereka yang jual-beli barang di kota. Pebisnis sejati adalah mereka yang mengelola sumber daya, mengambil risiko, dan menghasilkan keuntungan dari kerja keras serta perencanaan. Kalau itu ukurannya, maka petani ada di level teratas.
Ya, petani itu pebisnis. Bukan sekadar pekerja tanah, tapi manajer di perusahaannya sendiri: kebunnya. Mereka mengatur modal, menghitung risiko cuaca, memprediksi pasar, bahkan menyiapkan strategi distribusi. Bedanya, kantor mereka bukan di gedung bertingkat, tapi di ladang yang langitnya luas tanpa batas.
Petani Bukan Profesi Biasa
Bayangkan ini: Seorang petani membeli bibit, pupuk, dan alat-alat tanam. Dia menghitung kapan musim hujan datang, kapan panen akan terjadi, dan berapa harga jual saat panen tiba. Dia juga harus memutuskan, mau jual hasilnya ke tengkulak, ke pasar, atau langsung lewat platform digital. Itu semua adalah keputusan bisnis.
Bedanya dengan pebisnis di kota, petani harus mengandalkan insting alam dan ketahanan mental. Karena sekali salah prediksi, kerugian bisa datang bukan hanya dari pasar, tapi dari langit yang hujannya telat atau panasnya kebangetan.
Kalau dipikir-pikir, ini lebih menantang dari sekadar buka toko. Di toko, kamu atur stok di rak. Di pertanian, stok itu hidup, tumbuh, berkembang, dan bisa mati kalau kamu salah urus.
Keren dan Menguntungkan
Mungkin ada yang bilang, "Ah, bertani kan susah, kotor, dan hasilnya nggak seberapa."Â Itu mindset lama.
Sekarang, pertanian sudah pakai teknologi canggih: sensor kelembapan tanah, drone untuk pemantauan, sistem irigasi otomatis, hingga penjualan lewat e-commerce. Bahkan banyak anak muda sukses bertani hidroponik di lahan sempit dengan omzet jutaan per bulan.