Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

PSBB di Jakarta yang Semakin Panjang tapi Tidak Keras

1 Agustus 2020   16:46 Diperbarui: 1 Agustus 2020   17:10 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan perpanjangan PSBB masa transisi hingga 13 Agustus 2020 | Gambar: KOMPAS TV

PSBB percuma diperpanjang kalau tidak keras. Panjang tapi tidak keras, apa gunanya? Bukankah yang paling penting itu adalah sisi kerasnya? Apakah perpanjangan akan terus dilakukan hingga tersedianya vaksin?

Pandemi Covid-19 memang telah menempatkan semua pihak di posisi dilema. Pemberlakukan aturan secara ketat berguna untuk kesehatan (menekan penyebaran wabah), sementara di sisi lain menghambat geliat ekonomi (pergerakan orang dan dunia usaha terbatas).

Antara kesehatan dan stabilitas ekonomi. Kedua-duanya harus diperjuangkan, tidak boleh salah satunya. Untuk apa sehat jika miskin. Dan sebaliknya, tidak ada gunanya kestabilan ekonomi kalau penyakit membelenggu.

Baiklah bahwa keduanya wajib dijaga, lalu mengapa sebagian upaya baik dalam penerapan PSBB dikendorkan? Mengapa tidak dipertahankan? Sebelumnya di DKI Jakarta ada pemberlakuan surat izin keluar-masuk (SIKM), mengapa dihilangkan? Mengapa syaratnya sekarang cuma surat keterangan negatif Covid-19?

Aturan pemberlakuan SIKM telah dicabut, mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Aneh kalau dipersyaratkan kembali karena sudah pasti bakal menuai protes dari warga.

Lalu bagaimana dengan upaya lain yang mestinya tetap dipertahankan? Mengapa bantuan bus gratis bagi pekerja dari luar DKI Jakarta (Bogor dan wilayah lainnya) dihentikan dan dibuat berbayar?

Bukankah kehadiran bus gratis bagi pekerja (yang tidak terakomodir untuk naik KRL) selama ini cukup ampuh menegakkan aturan PSBB? Apa gunanya PSBB kalau pada akhirnya warga dipaksa berdesak-desakan lagi di dalam gerbong kereta?

Sila baca artikel Kompasiana berikut (klik): "Penghapusan Bus Gratis Bantuan di Stasiun, KRL Bakal Lebih Padat, Apa Kabar Protokol Kesehatan?". Pada artikel tersebut diuraikan seperti apa yang terjadi dengan para pekerja dan nasib penerapan protokol kesehatan.

Protokol kesehatan mau diterapkan sungguh-sungguh, tetapi upaya baik untuk menyukseskannya malah dihilangkan. Hal ini tentu sangat mengecewakan.

Bagaimana lagi dengan kekonsistenan pemerintah dan petugas untuk memastikan bahwa semua warga yang hendak keluar rumah telah menjunjung tinggi protokol kesehatan, misalnya memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan setelah beraktivitas, dan sebagainya?

Per Sabtu, 1 Agustus 2020, kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta bertambah menjadi 21.399, urutan terbanyak kedua setelah Jawa Timur (22.089 kasus). Semoga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempertimbangkan kembali keputusannya yang mencabut bus gratis bagi para pekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun