Meskipun belum ada perkembangan hasil riset terbaru yang menggembirakan terkait penanganan virus Corona, sejak awal Januari lalu, bersama Koalisi untuk Kesiapsiagaan dan Inovasi Epidemi (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations/CEPI), University of Quensland (UQ), Australia, disebutkan tengah menginisiasi pengembangan vaksin virus Corona dengan teknologi biomedis mutakhir.
Dalam menjalankan misinya, CEPI dan UQ menggelontorkan dana senilai 15,4 juta dolar Australia (setara Rp 140 miliar). Entah sudah bisa disebut sebagai angin segar atau belum, pengembangan vaksin diperkirakan baru akan rampung sekitar 6 (enam) bulan ke depan. Berarti, sepanjang penelitian, korban terpapar kemungkinan terus bertambah.
Mengapa ilmuwan Indonesia tidak mengadakan penelitian serupa? Bukankah cukup banyak universitas yang sebenarnya mumpuni melakukannya? Haruskah menunggu ada korban dulu di Indonesia? Harusnya ilmuwan Indonesia tidak berpangku tangan. Maka di sini, betapa penting pula dorongan dari pemerintah dan pihak kampus.
Seandainya pun ilmuwan Indonesia tidak sanggup mengadakan penelitian mandiri di tanah air, mestinya mereka berkenan dan senang hati berkolaborasi dengan para ilmuwan negara lain. Apakah aktivitasnya dilakukan di dalam negeri atau pun di luar negeri. Dan sebagai bentuk dukungan penuh, pemerintah wajib menjamin pendanaan.
Pembasmian wabah virus Corona merupakan tanggung jawab semua negara. Masing-masing wajib mau berlomba mengakhiri ancaman bencana. Tidak boleh ada satu pun negara yang berpangku tangan menerima nasib, berharap mendapat sumbangan hasil riset dari negara lain tanpa berkeringat, atau ogah terlibat karena belum jadi korban.
***
Referensi: [1] [2] [3] [4] [5]