Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ibu Kota Pindah ke Kaltim, Ini Kekhawatiran Saya Buat Jakarta

29 Agustus 2019   06:30 Diperbarui: 29 Agustus 2019   06:41 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah pedagang kaki lima (PKL) berjualan di trotoar Jalan Jati Baru kawasan Tanah Abang, Jakarta | tribunnews.com

Saya sebenarnya khawatir, jangan-jangan dengan pindahnya ibu kota baru ke Kalimantan Timur, kondisi Jakarta akan memburuk. Tapi mudah-mudahan kekhawatiran saya ini tidak terjadi dan berharap Jakarta yang sebentar lagi kehilangan "kekhususannya" tetap baik-baik saja.

Kekhawatiran saya adalah Jakarta bakal semakin semrawut, kumuh, dan terbengkalai. Lihat saja, meskipun dari dulu sampai sekarang masih berstatus sebagai kota percontohan di negeri ini karena ibu kota negara, wajah buruk Jakarta belum membaik.

Kemacetan belum nyata teratasi, musibah banjir jauh dari kendali, pengelolaan sampah kurang maksimal, serta pemanfaatan tepat atas sarana dan fasilitas publik semakin tak karuan.

Saya berdoa nasib serupa tidak dialami Kalimantan Timur kelak, sehingga perencanaan tata kota yang baik perlu dipikirkan secara matang. Kondisi Kalimantan Timur wajib lebih baik dari Jakarta.

Untuk masalah kemacetan, meskipun moda transportasi canggih diadakan semisal MRT dan LRT, faktanya belum mengubah kebiasaan warga dalam menggunakan kendaraan pribadi.

Sebagian warga tetap saja lebih nyaman menggunakan sepeda motor dan mobil pribadi untuk bepergian dibanding memilih transportasi umum.

Saya kurang tahu sampai kapan muncul kesadaran penuh akan pentingnya membatasi kendaraan pribadi demi mengurai kemacetan dan mengurangi polusi.

Menurut saya perlu ada regulasi ketat, misalnya pengetatan pembelian dan pembatasan usia kendaraan, atau penambahan rambu-rambu lintas misalnya penerapan jalur terbatas (ganjil-genap), dan sebagainya.

Selanjutnya soal banjir, tampaknya Jakarta tidak akan mungkin menghentikan musibah itu bila warga masih punya kebiasaan membuang sampah sembarangan. Pemberlakuan membayar denda Rp 500 ribu kepada pembuang sampah kelihatannya belum berjalan efektif.

Kebijakan melarang penggunaan kantong plastik juga kurang ditanggapi serius penjual dan pembeli. Baiklah kebijakan itu berjalan di supermarket dan minimarket, lalu bagaimana dengan di warung-warung, apakah demikian juga?

Pengelolaan sampah pun belum terasa, malah beberapa waktu yang lalu sempat ada polemik gara-gara studi banding anggota DPRD DKI Jakarta ke Surabaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun